KPK meminta Inspektorat dan Dinas Kesehatan turut mengawasi penyaluran dana insentif dan santunan bagi nakes.

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah permasalahan terkait pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan (nakes) pada Maret hingga akhir Juni 2020.

Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ipi Maryati, mengimbau manajemen rumah sakit atau pihak terkait agar tidak memotong insentif yang diberikan kepada nakes. KPK menerima informasi adanya pemotongan insentif nakes oleh pihak manajemen RS dengan besaran 50 hingga 70 persen.

"Insentif yang diterima oleh tenaga kesehatan secara langsung tersebut diketahui dilakukan pemotongan oleh pihak manajemen untuk kemudian diberikan kepada nakes atau pihak lainnya yang tidak berhubungan langsung dalam penanganan pasien Covid-19," kata Ipi dalam keterangan tertulis, Selasa (23/2).

Ipi mengatakan, pada Maret hingga akhir Juni 2020 melalui kajian cepat terkait penanganan Covid-19 khususnya di bidang kesehatan, KPK menemukan sejumlah permasalahan terkait pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan.

Adapun permasalah itu, yakni risiko inefisiensi keuangan negara yang disebabkan duplikasi anggaran untuk program pemberian insentif tenaga kesehatan di daerah, yakni melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Belanja Tidak terduga (BTT).

Kemudian, proses pembayaran yang berjenjang menyebabkan lamanya waktu pencairan dan meningkatkan risiko penundaan dan pemotongan insentif atau santunan tenaga kesehatan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Lalu, ada juga proses verifikasi akhir yang terpusat di Kementerian Kesehatan yang dapat menyebabkan lamanya proses verifikasi dan berdampak pada lambatnya pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan.

Atas permasalahan tersebut, kata Ipi, KPK merekomendasikan perbaikan berupa pengajuan insentif tenaga kesehatan pada salah satu sumber anggaran saja (BOK atau BTT).

KPK, menurut dia, juga menyarankan pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan di kabupaten/kota/provinsi yang dibiayai dari BOK cukup dilakukan oleh tim verifikator daerah.

"Pembayaran insentif dan santunan yang dilakukan secara langsung kepada nakes atas rekomendasi tersebut, Kementerian Kesehatan telah menindaklanjuti dan menerbitkan regulasi baru dengan perbaikan pada proses verifikasi dan mekanisme penyaluran dana insentif dan santuan bagi nakes yang menangani Covid-19," ucap Ipi.

Uang Tidak Berguna

Di tempat berbeda, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengecam negara-negara kaya yang telah memonopoli vaksin virus korona (Covid-19) sehingga mempersulit negara-negara yang lebih miskin untuk mendapatkan pasokan vaksin.

Direktur Jenderal (Dirjen) WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyebut kesepakatan langsung antara beberapa negara kaya dengan para produsen vaksin berarti alokasi vaksin seperti yang telah disepakati sebelumnya untuk negara-negara miskin, melalui program COVAX, menjadi berkurang.

COVAX merupakan program berbagi vaksin untuk memastikan akses yang adil dan setara untuk seluruh negara, terutama negara miskin.

Tedros menyatakan dana telah tersedia untuk pembelian vaksin korona bagi negara-negara termiskin setelah donasi terbaru dari Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Jerman, tidak ada gunanya jika tidak ada vaksin yang bisa dibeli.

"Meskipun Anda punya uang, Anda tidak bisa menggunakan uang itu untuk membeli vaksin, memiliki uang tidak berarti apa-apa," sebut Tedros dalam konferensi pers virtual bersama Presiden Jerman, Frank-Walter Steinmeier.

n SB/AFP/P-4

Baca Juga: