» Jika setiap upaya merugikan keuangan negara bisa dibayar tidak sebesar utangnya maka akan jadi preseden buruk ke depan.

» Publik harus mengawal agar kerja Satgas BLBI agar tidak mengulang melakukan politisasi atas kasus SKL yang lalu.

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diminta segera menghitung kerugian negara ketika aparat penegak hukum tengah melakukan pengusutan korupsi. Permintaan itu dimaksudkan agar perkaranya bisa segera disidangkan.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, dalam rapat koordinasi pemberantasan korupsi terintegrasi aparat penegak hukum Jawa Tengah, di Semarang, pekan lalu, mengatakan sampai saat, tidak ada perkara yang bisa disidangkan tanpa perhitungan kerugian keuangan negara dari BPK atau BPKP.

"Saya minta kalau ada perkara yang ditangani jaksa atau polisi segera hitung kerugian negaranya," kata Firli dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Jumat (12/11).

Dia juga meminta semangat pemberantasan korupsi yang sama juga terus dibangun oleh penyidik, penuntut umum, auditor hingga hakim. Firli mengatakan selain hukuman badan harus ada hukuman tambahan yang diberikan kepada pelaku tindak korupsi.

"Kami minta kepada ketua pengadilan bahwa dalam kerangka pemberantasan korupsi, selain hukuman badan, ada ancaman tambahan yang lebih penting, yaitu denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Ini akan memberikan efek jera," kata Firli.

Beri Keleluasaan

Menanggapi pernyataan Ketua KPK itu, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, sekaligus Presiden Forum Dekan Ilmu-ilmu Sosial (Fordekiis), Andy Fefta Wijaya, mengatakan jika seluruh kerugian negara dalam perkara yang sedang ditangani, seperti skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa dikembalikan sesuai hasil audit BPK, maka itu akan dicatat sejarah sebagai keberhasilan pemerintah.

Untuk itu, BPK harus diberi keleluasaan untuk menghitung kerugian negara tanpa pandang bulu. "Audit penting untuk menghitung ada tidaknya kerugian negara, dilaksanakan oleh BPK kepada obligor BLBI tanpa terkecuali. Karena berdasarkan undang-undang memang BPK lah lembaga yang berhak melaksanakan fungsi ini," kata Andy.

Semua stakeholders pun diharapkan bisa seirama dalam menangani dan menuntaskan kasus BLBI, mulai dari BPK, KPK, Kejaksanaan, dan Pengadilan. Jika itu tercapai, keberhasilan dalam menuntaskan masalah itu bukan saja akan menyelamatkan aset negara dan membantu keuangan negara yang sedang terpuruk dalam situasi sulit seperti ini, tapi juga akan menjadi catatan kinerja manis di era kepemimpinan saat ini.

Praktisi Hukum, Augustinus Hutajulu, dalam kesempatan terpisah mengatakan yang paling penting saat ini ialah rasa keadilan masyarakat. Sejauh mana penindakan kasus hukum itu bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, apalagi kasus BLBI ini menyangkut uang atau aset negara.

Kasus pidana ini bukan kasus privat, tetapi sudah menjadi kasus publik. Karena itu, ia sangat berharap agar KPK mendalami kasus BLBI ini hingga ke akar-akarnya.

"KPK jangan hanya menakut-nakuti saja, tetapi masuk ke dalam kasusnya. Bila perlu terapkan sistem sita hingga aset yang dikuasai anak cucunya. Kalau ini money laundry kan bisa ketahuan uangnya mengalir ke mana," tegas Augustinus.

Perlunya KPK masuk di kasus BLBI agar pemidanaan bukan hanya menghukum obligor/debitor yang bersangkutan saja, tetapi untuk memberi tekanan psikologis bagi dia dan orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama di kemudian hari. "Ini yang disebut general prevention, sehingga besok orang tidak ngemplang lagi. Kalau hanya setiap pelanggaran bisa dibayar maka besok orang akan ngemplang lagi," katanya.

Dia juga menolak keras Satgas yang mengacu pada Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk membebaskan para obligor kakap dari sisa utangnya yang belum dibayarkan kepada negara. Jumlah penagihan harus tetap mengacu pada audit BPK. "Kalau bicara kasus maka harus dari audit BPK," katanya.

Kasus korupsi, tambahnya, juga tidak mengenal kedaluwarsa, apalagi sudah masuk kategori extraordinary crime, suatu kejahatan khusus (kejahatan luar biasa). "Makanya, saya menolak kasus BLBI ini dihentikan penyidikannya di ranah pidana. KPK harus masuk, pidanakan dan sita," tukas Augustinus.

Sementara itu, Ekonom Konstitusi, Defyan Cori, menegaskan kinerja Satgas BLBI sangat memprihatinkan, dan lebih banyak wacana daripada mengambil tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan penyalahgunaan dana BLBI.

"Publik harus mengawal agar satgas BLBI transparan dalam penagihan ketimbang melakukan secara transaksional dan sembunyi-sembunyi," tegas Defyan.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan secara prinsip dirinya sepakat dengan rencana KPK untuk memperkuat penindakan dengan memperberat hukuman bagi koruptor.

Audit BPK menjadi keharusan untuk mengetahui kerugian negara yang ditimbulkan dari penyalahgunaan bantuan tersebut, termasuk penerbitan SKL.

"Harus ada kesamaan pandangan dari aparat penegah hukum agar upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi bisa berjalan dengan baik," kata Badiul.

Sementara itu, Penasihat Senior Indonesia Human Rights Commitee for Social Justice (IHCS), Gunawan, menegaskan perlunya transparansi dan akuntabilitas kinerja Satgas BLBI. "KPK perlu mengawasi Satgas BLBI, terutama jika terjadi pemalsuan dokumen dan pengalihan aset," tutupnya.

Baca Juga: