JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kecewa dengan putusan rendah Mahkamah Agung (MA) kepada Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (Sulut) periode 2014-2019, Sri Wahyuni Maria Manalip (SWM). MA memangkas setengah hukuman Sri Wahyuni, dari 4,5 tahun menjadi 2 tahun penjara.

"JPU (Jaksa Penuntut Umum) KPK saat ini belum menerima salinan putusan resmi dari MA. Namun jika putusan tersebut benar demikian maka membandingkan antara putusan PK (peninjauan kembali) dan tuntutan JPU yang sangat jauh KPK kecewa atas putusan tersebut," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, di Jakarta, Selasa (1/9).

Walupun demikian, tambah Ali, KPK tetap harus menghormati dan menerima putusan tersebut. Namun, pihaknya sangat menyayangkan, apalagi Majelis Hakim MA juga sepakat bahwa Sri Wahyuni terbukti melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor).

"Vonis yang dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Tipikor, yaitu minimum pidana penjara selama 4 tahun," jelas Ali.

Ali menuturkan, pihaknya khawatir putusan tersebut menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK berharap ada kesamaan visi dan semangat yang sama antar aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi.

Seperti diberitakan sebelumnya, MA mengabulkan PK yang diajukan Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud periode 2014-2019, Sri Wahyuni Maria Manalip (SWM). Akibatnya, hakim MA memotong hukuman Wahyuni yang awalnya diputus Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat 4 tahun 6 bulan penjara, Pada 9 Desember 2019 lalu.

Sri Wahyuni merupakan terdakwa dalam kasus suap terkait pengadaan barang atau jasa di Kabupaten Kepulauan Talaud Tahun Anggaran (TA) 2019.

"Kabul permohonan PK Pemohon, batal putusan judex facti kemudian MA mengadili kembali: menyatakan Pemohon PK terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a UUPTPK. Menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar 200 juta rupiah atau subsider enam bulan kurungan," kata Juru Bicara MA Hakim Agung Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis yang diterima Koran Jakarta, Senin (31/8).

Putusan itu diketok oleh Ketua Majelis Suhadi dengan anggota Eddy Army dan M Askin. Putusan itu diketok pada 25 Agustus 2020. ola/N-3

Baca Juga: