JAKARTA - Sektor pangan dan kesehatan kerap menjadi ladang korupsi, terutama terkait kebijakan importasi. Lobi-lobi dalam penentuan kebijakan impor tercatat menjadi kasus besar impor di negeri ini. Perlu ada upaya serius untuk menghentikan hal tersebut.
Demikian diungkapkan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, dalam Bincang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dengan tema Mengakhiri Korupsi di Impor Pangan dan Sektor Kesehatan, di Jakarta, Selasa (19/10).
Pahala menyinggung kasus korupsi impor daging sapi pada 2013 yang melibatkan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, anggota DPR 2009-2014, Ahmad Fathanah, dan pihak Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman. "Dalam kasus itu, ada suap 1,3 miliar rupiah dari komitmen yang hanya 40 miliar rupiah," ujarnya.
Kedua, tambah Pahala, kasus korupsi bawang putih pada 2019 yang melibatkan mantan anggota DPR I Nyoman Dhamantra. "Dhamantra menerima suap dua miliar rupiah dalam pengurusan RIPH impor bawang putih," ungkapnya.
Ketiga, kasus korupsi terkait persetujuan kontrak jangka panjang distribusi gula kristal putih. "Kasus itu menyangkut mantan Dirut PTPN III, Dolly Parlagutan, dan Dirut PT Fajar Mulia Transindo, Pieko Nyotosetiadi, pada 2015-2016," tutur Pahala.
Menanggapi apa yang disampaikan Pahala, Ketua Indonesia Budget Center (IBC), Arif Nuralam, mengatakan kondisi ini membuat kedaulatan pangan masih jauh diwujudkan, karena ya korupsi itu merusak cita-cita kedaulatan pangan.
Arif sepakat dengan pendapat Pahala, yang bermain dalam kasus importasi itu tak hanya pejabat publik, tapi kalangan swasta juga memang bermain. Artinya, ada kongkalikong. Pelaku usaha banyak yang aktif melakukan lobi untuk mendapatkan kuota atau kemudahan perizinan impor. "Ini yang kemudian berujung pada praktik korupsi," kata Arif.
Semakin Lemah
Arif menambahkan, korupsi pada sektor pangan berdampak semakin lemahnya ketahanan pangan. Bahkan membuat tekad kedaulatan pangan kian jauh panggang dari api. Program kedaulatan pangan pun semakin terinfiltrasi oleh rente importir.
"Ini harus menjadi salah satu prioritas Jokowi, khusus menteri yang mengurusi ini agar serius menata sistem governance di sektor ini," kata Arif.
Menurut Arif, korupsi di sektor pangan dan kesehatan tentu saja bisa dipastikan tak hanya melibatkan pejabat publik semata, tapi beririsan dengan pejabat politik yang ada di DPR dan kabinet. Itu juga karena adanya sokongan pelaku usaha dengan lobi dan fasilitasi yang intens.
"Ini yang membuat program kedaulatan pangan itu seakan lips service saja, dan yang jadi korban ya rakyat. Petani khususnya," katanya.
Pakar Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan kegiatan impor memang telah lama menjadi ladang korupsi. Para importir rela mengeluarkan dana besar untuk melobi pejabat-pejabat terkait guna memuluskan impor.
"Memang, para importir ini dananya besar sehingga bisa masuk ke ring satu kementerian, bahkan antara kementerian dan Presiden. Butuh jiwa nasionalisnme untuk mengatasi ini, dengan mengedepankan kebijakan afirmatif yang berorientasi pada kesejahteraan petani," tuturnya.
Ramdan menambahkan, Kementerian Pertanian telah berupaya sesuai tupoksi dalam meningkatkan produksi subtitusi impor. Derasnya impor karena masalah lintas sektoral dengan Kementerian Perdagangan yang ngotot meneruskan impor dengan alasan untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri.