Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan sepuluh nama capim KPK periode 2019-2023 yang lolos seleksi wawancara dan uji publik. Pengumuman itu disampaikan usai Pansel Capim KPK bertemu Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/9).

Sepuluh capim KPK yang lolos seleksi sebagaimana diungkapkan Ketua Pansel Yenti Garnasih adalah Alexander Marwata (komisioner KPK), Firli Bahuri (anggota Polri), I Nyoman Wara (auditor BPK), Johanis Tanak (jaksa), Lili Pintauli Siregar (advokat), Luthfi Jayadi Kurniawan (dosen), Nawawi Pomolango (hakim), Nurul Ghufron (dosen), Roby Arya B (PNS Sekretariat Kabinet) dan Sigit Danang Joyo (PNS Kementerian Keuangan).

Sayangnya, sepuluh capim KPK yang diserahkan ke Presiden itu belum memuaskan publik. Bahkan, publik khawatir karena di antara sepuluh capim KPK itu terdapat sejumlah nama yang terindikasi melanggar kepatuhan dalam penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), melakukan pelanggaran etik, melakukan perbuatan menghambat penanganan kerja KPK, adanya dugaan penerimaan gratifikasi.

Publik prihatin atas proses seleksi capim KPK yang dilakukan pansel. Pansel capim KPK tidak dipertimbangkan LHKPN sebagai syarat seleksi. Padahal masalah LHKPN ini diatur dalam Pasal 29 angka 11 UU KPK yang menyebut laporan harta kekayaan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi calon pimpinan KPK. Rekam jejak calon pimpinan KPK juga tidak menjadi pertimbangan penting oleh Pansel.

KPK dalam bahaya bila lembaga pemberantasan korupsi itu dipimpin oleh orang-orang yang tidak cakap dan tidak berintegritas. Karena itu, masyarakat berharap Presiden Jokowi tidak meloloskan nama-nama yang berpotensi melumpuhkan KPK untuk mengikuti fit and proper test, di Komisi III DPR.

Apabila Presiden merekomendasikan nama-nama yang berintegritas dan rekam jejak yang bersih maka tidak ada pilihan bagi DPR selain memilih yang terbaik di antara yang bersih. Demikian sebaliknya, yang harus diingat, korupsi adalah penyebab segala masalah dan akibatnya dirasakan oleh semua orang.

Peran Presiden dan DPR sebagai ujung dari proses penyaringan nama capim KPK itu menjadi sangat menentukan. Jika Presiden dan DPR tidak hati-hati dalam memilih capim KPK maka pemberantasan korupsi bisa menimbulkan serangan balik dari pihak-pihak yang tidak nyaman selama ini.

Keberanian Presiden menolak capim KPK yang bermasalah itu akan sangat berpengaruh terhadap kinerja KPK empat tahun mendatang dan menentukan keberhasilan pemberantasan korupsi di negeri ini. Presiden harus membuktikan komitmennya memperkuat KPK dengan tidak memilih nama-nama capim yang terindikasi bermasalah.

Isu pemberantasan korupsi sudah terlanjur menjadi salah satu janji politik yang diutarakan Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2019. Oleh karena itu, sudah seharusnya Jokowi mau mendengar dan merespons berbagai tuntutan masyarakat sipil demi tegaknya hukum pemberantasan korupsi di Indonesia melalui KPK. Masa depan penegakan korupsi sangat tergantung kepada kualitas pucuk pimpinan KPK yang sedang diseleksi ini.

Pimpinan KPK tidak boleh diisi pihak luar yang memiliki kepentingan untuk mengendalikan lembaga itu dan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Presiden dan Komisi III DPR jangan memberi kuota kepada pihak tertentu untuk mengisi jabatan pimpinan KPK. Seleksi harus benar-benar dilakukan secara adil.

KPK merupakan ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK harus dipimpin oleh sosok yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Pimpinan KPK harus sosok nonpartisan, memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan kasus-kasus berat dan memiliki keberanian atau nyali untuk bertindak tegas. Capim KPK terpilih harus "beban masa lalu".

Baca Juga: