Semua warga yang tinggal di daerah pesisir harus waspada, kota-kota di Asia mengalami peningkatan paparan kenaikan permukaan laut.
JAKARTA - Studi yang dipublikasikan pada Kamis (2/3) di jurnal ilmiah Nature Climate Change menyebutkan beberapa kota terbesar di Asia Tenggara dapat terdampak secara tidak proporsional oleh naiknya permukaan laut, hingga berada di bawah permukaan air pada akhir abad ini.
Dikutip dari Radio Free Asia (RFA) para peneliti memetakan hotspot permukaan laut di seluruh dunia dan menggabungkan efek perubahan iklim pada permukaan laut dengan fluktuasi alami lautan untuk menunjukkan bagaimana jutaan orang di kota-kota pesisir dapat terkena dampaknya.
Penelitian menunjukkan variabilitas iklim internal dapat memperkuat atau mengurangi dampak perubahan iklim terhadap kenaikan permukaan laut di sepanjang garis pantai tertentu hingga 30 persen lebih banyak daripada yang dihasilkan dari perubahan iklim saja, yang secara eksponensial meningkatkan banjir ekstrem.
Pada tahun 2100, jika variabilitas mencapai batas atas karena tingginya tingkat gas rumah kaca, titik panas kenaikan permukaan laut baru akan muncul di kota-kota besar Asia Tenggara, termasuk Yangon, Bangkok, Ho Chi Minh, dan Manila, serta Chennai dan Kolkata di India.
Populasi Metro Manila adalah 13 juta; Bangkok memiliki sedikitnya 11 juta; Ho Chi Minh melampaui 9 juta; dan Yangon memiliki sekitar lima juta penduduk.
Studi ini berbeda dari penelitian sebelumnya dengan memasukkan fluktuasi permukaan laut yang terjadi secara alami, seperti El Nino, bersama dengan perubahan siklus air, yang dikenal sebagai variabilitas iklim internal, untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kenaikan permukaan laut.
Fluktuasi Alami
Variabilitas iklim internal mengacu pada fluktuasi alami dalam sistem iklim bumi yang muncul dari proses internal, seperti arus laut, pola sirkulasi atmosfer dan variasi orbit dan kemiringan bumi.
Itu bisa mengakibatkan perubahan suhu, curah hujan, dan variabel iklim lainnya yang berlangsung dari bulan ke dekade. Variabilitas tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal, termasuk aktivitas manusia seperti emisi gas rumah kaca.
"Variabilitas iklim internal dapat sangat memperkuat atau menekan kenaikan permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim," kata Aixue Hu, salah satu penulis makalah tersebut.
"Dalam skenario terburuk, efek gabungan dari perubahan iklim dan variabilitas iklim internal dapat menyebabkan permukaan laut lokal naik lebih dari 50 persen dari apa yang disebabkan oleh perubahan iklim saja, sehingga menimbulkan risiko signifikan banjir yang lebih parah ke kota-kota besar pesisir, dan mengancam jutaan orang," ungkapnya.
Menurut Laporan Perubahan Iklim Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations) 2021, Asia Tenggara memiliki salah satu garis pantai terpanjang di dunia dengan panjang 234.000 kilometer, dengan perkiraan 77 persen populasi tinggal di wilayah pesisir, menjadikannya salah satu kawasan paling rentan di dunia.
Tahun lalu, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim mengatakan dalam sebuah laporan bahwa Asia Tenggara menghadapi risiko serius kehilangan infrastruktur dan pemukiman pesisir dataran rendah karena banjir yang disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut yang tak terhindarkan.
Permukaan laut sudah naik karena peningkatan suhu laut dan mencairnya lapisan es yang disebabkan oleh pemanasan global, menurut para ilmuwan dan pakar perubahan iklim.
Studi sebelumnya mengatakan banjir pesisir di Manila diperkirakan terjadi 18 kali lebih sering pada tahun 2100 dibandingkan tahun 2006, hanya berdasarkan perubahan iklim.
Namun, studi baru menunjukkan bahwa dalam skenario terburuk, banjir seperti itu dapat terjadi 96 kali lebih sering berdasarkan perubahan iklim dan variabilitas iklim internal.
Demikian pula Yangon diproyeksikan mengalami peningkatan peristiwa langka seperti itu dari 148 menjadi 471 kali lebih sering, sementara di Ho Chi Minh, peningkatannya dari 77 kali menjadi 2.882 kali lebih sering.
"Dengan mempertimbangkan dampak variabilitas iklim internal, perubahan signifikan dalam frekuensi banjir episodik pada akhir abad ini diharapkan di daerah dataran rendah yang kurang dari 10 meter di atas permukaan laut dan berpenduduk padat daerah, seperti delta Ayeyarwady, delta Mekong, dan di pulau dataran rendah di Pasifik tropis, menempatkan jutaan orang dalam bahaya," kata studi itu.
Para peneliti menggambar serangkaian simulasi dan analisis statistik dengan asumsi bahwa gas rumah kaca dipancarkan pada tingkat yang tinggi. Perkiraan tersebut datang dengan ketidakpastian yang cukup besar karena sistem iklim bumi yang kompleks dan tidak dapat diprediksi, kata mereka.