SEOUL - Korea Utara (Korut) ingin membuka kembali perundingan nuklir dengan Amerika Serikat (AS) jika Donald Trump terpilih kembali sebagai presiden dan kedua negara akan berupaya merancang strategi negosiasi baru, kata seorang diplomat senior Korut yang baru-baru ini membelot ke Korea Selatan (Korsel).
Membelotnya Diplomat Ri Il Kyu dari Kuba menjadi berita utama secara global pada Juli lalu. Ia merupakan diplomat paling senior Korut yang membelot ke Korsel sejak tahun 2016.
Dalam sesi wawancara pertamanya dengan media internasional, Ri mengatakan Korut telah menetapkan Russia, AS, dan Jepang, sebagai prioritas kebijakan luar negeri utama mereka pada tahun 2024 dan seterusnya.
"Sambil memperkuat hubungan dengan Russia, Pyongyang ingin membuka kembali perundingan nuklir jika Trump, yang pernah terlibat dalam tindakan yang sangat berbahaya dan diplomasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Korut selama masa jabatan sebelumnya, jika ia kembali memenangkan pemilu pada November mendatang," kata Ri.
"Para diplomat Pyongyang sedang memetakan strategi untuk skenario tersebut, dengan tujuan mencabut sanksi terhadap program senjatanya, menghapuskan penunjukan negara tersebut sebagai negara sponsor terorisme, serta untuk mendapatkan bantuan ekonomi, kata Ri.
Pernyataan Ri menandakan potensi perubahan sikap Korut saat ini setelah pernyataan Pyongyang baru-baru ini mengenai penolakan kemungkinan dialog dengan AS dan peringatan akan konfrontasi bersenjata.
Pertemuan puncak antara pemimpin Korut, Kim Jong-un, dan Trump di Vietnam pada 2019, gagal karena sanksi, dan Ri turut menyalahkan keputusan Kim yang mempercayakan diplomasi nuklirnya kepada komandan militer yang tidak berpengalaman dan tidak memahami masalah.
"Kim Jong-un tidak tahu banyak tentang hubungan internasional dan diplomasi, atau bagaimana membuat penilaian strategis," kata Ri. "Kali ini, kementerian luar negeri pasti akan mendapatkan kekuasaan dan mengambil alih, dan tidak akan mudah bagi Trump untuk mengikat tangan dan kaki Korut lagi selama empat tahun tanpa memberikan apapun," imbuh diplomat itu.
Batu Sandungan
Dengan menjalin hubungan yang lebih erat dengan Russia, Korut bisa menerima bantuan dalam bidang teknologi misil dan ekonominya.
Namun manfaat yang lebih besar adalah dengan memblokir sanksi tambahan dan melemahkan sanksi yang sudah ada, kata Ri, seraya menambahkan bahwa hal ini akan meningkatkan daya tawar Pyongyang terhadap Washington DC.
"Russia melakukan tindakan kotor dengan melakukan transaksi gelap dan, berkat itu, Korut tidak perlu lagi bergantung pada AS untuk mencabut sanksi, yang pada dasarnya berarti mereka menghilangkan salah satu alat tawar-menawar utama AS," papar Ri.
Terkait dengan Tokyo, Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan dia ingin bertemu dengan Kim Jong-un, namun masalah warga negara Jepang yang diculik oleh Korut pada era 70-80-an telah lama menjadi batu sandungan.
Menurut Ri, Kim Jong-un akan berusaha mengadakan pertemuan puncak dengan Jepang, yang bertujuan untuk mendapatkan bantuan ekonomi sebagai imbalan atas konsesi mengenai masalah penculikan. ST/I-1