SEOUL - Korea Utara (Korut) berjanji untuk mendorong pengembangan teknologi ruang angkasa dan kembali menegaskan rencana peluncuran beberapa satelit pengintai tahun ini setelah menempatkan satelit mata-mata pertamanya ke orbit pada November lalu.

Menyusul peluncuran satelit Malligyong-1 tahun lalu setelah dua kali gagal pada Mei dan Agustus, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, mengumumkan dalam pertemuan akhir tahun bahwa negaranya berencana untuk menempatkan tiga satelit mata-mata lagi ke orbit tahun ini.

"Keberhasilan peluncuran satelit pengintai Malligyong-1 tahun lalu telah membawa kemajuan besar dalam kemampuan pertahanan nasional dan beberapa peluncuran diperkirakan juga akan dilakukan pada tahun ini," kata Wakil Direktur Administrasi Teknologi Dirgantara Nasional Korea Utara, Pak Kyong-su, seperti dikutip Kantor Berita Pusat Korea (KCNA), Senin (1/4).

Seperti dikutip dari Antara, Pak Kyong-su mengatakan Korea Utara telah melakukan upaya untuk menggunakan satelit untuk berbagai tujuan, seperti pertanian, pengelolaan lahan, dan pencegahan bencana. Oleh karena itu, pengembangan ruang angkasa menjadi semakin penting.

Kementerian Unifikasi Korea Selatan yang bertanggung jawab atas urusan antar- Korea menuturkan pemerintahnya bekerja sama erat dengan Amerika Serikat untuk memantau fasilitas-fasilitas utama Korea Utara jika ada tanda-tanda peluncuran semacam itu.

"Terlepas dari tujuan yang diklaim oleh Korea Utara, setiap satelit Korea Utara yang menggunakan teknologi rudal balistik jelas merupakan pelanggaran terhadap resolusi dewan keamanan PBB," kata Juru Bicara Kementerian Korsel, Koo Byung-sam, pada konferensi pers rutin, Senin.

Persiapan Peluncuran

Adapun pernyataan dari Korea Utara itu muncul setelah sumber militer Korea Selatan pada pekan lalu mengatakan Korea Utara telah memasang layar untuk mencegah orang luar mengamati lokasi peluncuran satelit Tongchang-ri yang mungkin merupakan indikasi bahwa persiapan peluncuran satelit sedang dilakukan.

Terkait masalah Korut, pendapat anggota Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang terpecah berakibat pada kegagalan mengadopsi resolusi baru untuk memperluas mandat panel ahli yang bertugas memantau penegakan sanksi tahunan terhadap Korea Utara.

Pemungutan suara di dewan yang beranggotakan 15 orang yang berlangsung pada Kamis (28/3) di Washington itu memberikan hasil 13 negara mendukung resolusi, Russia menggunakan hak veto, dan Tiongkok abstain.

Lantaran Russia yang menggunakan hak veto maka mandat tersebut gagal diperpanjang satu tahun lagi, padahal mandat panel akan berakhir pada 30 April. Kegagalan tersebut belum pernah terjadi sebelumnya yang berpotensi pada pelemahan upaya global untuk mengekang ancaman nuklir dan rudal Pyongyang.

Menghadapi kegagalan resolusi tersebut, anggota DK PBB melakukan negosiasi intens untuk dengan Russia yang dikatakan telah mengusulkan klausul "sunset" untuk mengakhiri sanksi DK PBB terhadap Korea Utara. Tentu tuntutan itu tidak dapat diterima oleh Seoul, Washington, dan anggota lainnya.

Jika klausal tersebut diadopsi, akan membuat sanksi anti-Pyongyang hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu, kecuali ada perjanjian DK PBB yang akan memberlakukan sanksi tersebut untuk jangka waktu lain yang disepakati.

Kehancuran panel ahli itu terjadi di tengah perpecahan yang semakin mendalam di DK PBB dengan Russia yang mengupayakan hubungan yang lebih erat dengan Tiongkok dan Korea Utara di tengah perang yang sedang berlangsung di Ukraina, dan Amerika Serikat, sekutu dan mitranya semakin memperketat solidaritas.

Mandat panel telah diperpanjang setiap tahun sejak diluncurkan pada tahun 2009 sejalan dengan Resolusi DK PBB 1874 yang diadopsi sebagai tanggapan terhadap uji coba nuklir kedua Korea Utara pada bulan Mei di tahun yang sama.

Dengan membantu Komite Sanksi DK PBB untuk Korea Utara, panel berfungsi sebagai platform kelembagaan utama untuk mengawasi sanksi terhadap Korea Utara. Panel ahli telah menerbitkan dua laporan setiap tahun.

Baca Juga: