Beberapa hari belakangan, polemik perihal ketidakmampuan pemerintah Indonesia mendeteksi penyebaran virus korona mencuat. Semua bermula dari laporan media Australia yang menyebut Indonesia belum memiliki alat pendeteksi virus korona nCoV terbaru itu.

Di dalam negeri pun muncul kepanikan. Media sosial ramai dengan ciutan kritis terhadap pemerintah. Kondisi ini semakin parah karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang virus korona tersebut. Untuk memberikan pencerahan dan mendalami tentang virus korona ini, Koran Jakarta mewawancari Dekan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Prof. dr. Ova Emilia M.Med.Ed. SpOG(K). Ph.D. Berikut petikannya.

Ada ketidakpercayaan sebagian kalangan dengan kesiapan pemerintah dalam menangani virus korona, dan ini datang dari netizen dengan tingkat pendidikan tinggi, bagaimana menurut Ibu?

Pendidikan tinggi memang biasa kritis, tapi ini kritisnya sering kelewatan karena tidak memahami sungguh-sungguh persoalannya. Pertama, virus korona itu patologi yang sifat penularannya sama dengan TB (Tubercolosis) yakni melalui droplet dan bukan lewat udara.

Jadi, virus yang berupa mikroorganisme ini menyebar mengikuti air liur atau lendir dan bukan terbang ke mana-mana. Droplet hanya bisa ya sejauh satu meter, orang bicara ludahnya masuk ke mulut kita ya nular. Ludah atau bersin yang sampai di meja terus tangan kita megang, lalu tangan masuk mulut ya nular.

Nah, kalau kita lihat TB, Indonesia itu reservoir TB atau penderita TB di Indonesia itu banyak sekali. Jauh lebih banyak dari penderita virus korona, ini yang dilaporkan baru 2.

Nah, TB saja kita nggak takut kan ? Kenapa korona bisa begitu heboh?

Jadi memang ada masalah di mindset. Kalau dibesar-besarkan memang jadi kurang baik. Waspada perlu karena ini jenis virus baru, tapi ketahanan tubuh itu lebih utama.

Maksud Ibu, TB lebih berbahaya dari korona?

Sama berbahayanya. Karena TBC yang tidak diobati atau diobati tapi tidak sampai tuntas, itu lebih akan bahaya. Dan itu banyak sekali di Indonesia yakni multidrugs resistence. Ini yang menyebabkan bakteri atau basil TB kemungkinan terus bermutasi hingga lebih kuat dalam melawat obat yang kita berikan, menjadi tidak manjur lagi. Maka TB akan makin susah dibasmi.

Banyak yang membandingkan sikap pemerintah kita dengan negara tetangga, katakanlah Singapura dan Malaysia, yang tampak lebih serius.

Jadi dalam sebuah wabah ada langkah tracking dan bagaimana mencegah transmisi. Yang bikin heboh ini kan langkah tracking yang dilakukan seolah-olah terjadi ancaman lewat udara. Padahal kalau kita lihat prevalensinya atau jumlah kasusnya di Indonesia masih sangat kecil.

Misalnya kita mau tracking kemungkinan satu orang di antara 1.000 orang telah positif korona. Punya uang? Satu kali diagnosis biaya sampai satu juta rupiah. Untuk mencari satu penderita di antara 1.000 orang kita butuh satu miliar rupiah.

Lalu, tingkat case fatality korona ini hanya 2 persen, itu pun di usia yang sudah lanjut. Bukan hanya korona Covid-19, tapi flu biasa itu juga gawat kalau sampai pneumonia.

Pada intinya memilih langkah pencegahan transmisi dengan sosialisasi hidup sehat itu sudah paling tepat. Dan jangan menyebarkan ketakutan, sebaliknya justru menyebarkan kebiasaan hidup sehat seperti jaga kebersihan, cuci tangan, dan etika batuk bagi yang sakit. n eko sugiarto p/P-4

Baca Juga: