Sistem pengelolaan air di Indonesia dinilai masih buruk dan selayaknya ada lembaga khusus yang mengurus tata kelola air.

JAKARTA - Pemerhati lingkungan mendesak pemerintah untuk memperbaiki tata kelola air secara nasional untuk mengantisipasi ancaman krisis air. Indonesia merupakan negara dengan sumber air peringkat keempat di dunia, namun kekeringan tetap melanda. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) mengusulkan adanya satu lembaga khusus yang mengurusi tata kelola air.

Menurut Muhamad Reza, pemerhati lingkungan dari Kruha, lemahnya eksekusi kebijakan air karena terlalu banyak lembaga yang menangani, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PUPR, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), dan belum lagi koordinasi dengan pemerintah daerah.

"Ada belasan lembaga yang berurusan dengan air sehingga sulit koordinasinya. Serahkan saja ke BNPB atau lembaga baru setingkat lembaga tersebut," kata Reza, kepada Koran Jakarta, di Jakarta, Minggu (21/7).

"Ini buruk ya pengelolaannya, bagaimana mungkin kita ini memiliki sumber air keempat terbesar di dunia, namun manajemenya lemah sehingga ketika kemarau kekeringan, dan penghujan tetap saja banjir," tukas Muhamad Reza.

Padahal menurut Reza, kekeringan terjadi pada wilayah yang sama yang terjadi kekeringan tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, pola yang digunakan untuk mengatasi kekurangan air tetap saja mengirimkan air curah ke lokasi-lokasi kering. "Pendekatannya masih sama persis, dan ini negara besar lho, namun pengelolaanya masih primitif," tukasnya.

Adapun permasalahan mendasar seperti alih fungsi lahan di daerah hulu, ruang terbuka hijau (RTH) yang masih di bawah 20 persen, serta infrastruktur irigasi dan layanan air minum belum menyentuh ke persoalan mendasar. Secara umum, kondisi pengelolaan air di Indonesia masih rentan terhadap bencana kekeringan. "Antisipasinya masih lemah, ditambah lagi kondisi iklim yang samakin sulit diprediksi, jadi menumpuk," katanya.

Di tengah kondisi demikian, Muhamad Reza mengatakan regulasi tentang revisi UU No7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) juga belum kunjung selesai. RUU tentang SDA sejak 2015 lalu direvisi, sampai sekarang juga belum tuntas. "Ini ada masalah apa? Sepertinya tarik-menarik antara pemilik modal dengan regulator. Ya memang tak sejalan, kita bicara lingkungan bertolak belakang dengan investasi. Ini menjadi perdebatan terus, seiring dengan itu kondisi makin kritis," paparnya.

Muhamad Reza menyesalkan kondisi karut-marut ini karena yang paling berat dirasakan adalah warga perdesaan yang menggantungkan air untuk pertanian, dan warga perkotaan yang membutuhkan air minum. Bagi warga desa yang terlanjur bercocok tanam dengan tanaman boros air, akan sengsara. "Tidak hanya itu, angka kematian yang disebabkan ketersediaan air, 136 anak meninggal per tahun, dan tidak sekadar urusan ekonomi saja."

Kekeringan Melanda

Bencana kekeringan sudah melanda di beberapa daerah, seperti di Lebak, Banten. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lebak hingga kini terus menyalurkan pasokan air bersih ke desa-desa yang mengalami krisis air bersih akibat kemarau. "Kita berharap bantuan air bersih itu memenuhi untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus (MCK)," kata Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Lebak, Kaprawi, di Lebak, Banten, Sabtu (20/7).

Hal yang sama terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). BPBD DIY mencatat kebutuhan dropping air di sejumlah wilayah yang menghadapi kekeringan saat musim kemarau mengalami peningkatan selama Juli dibanding kebutuhan bulan sebelumnya. "Sampai pertengahan Juli, jumlah kebutuhan air bersih sudah lebih dari 50 persen dibanding bulan sebelumnya," kata Kepala Pelaksanana BPBD DIY, Biwara Yuswantana. Ant/suh/E-12

Baca Juga: