Presiden Joko Widodo membentuk satuan baru di Tentara Nasional Indonesia (TNI), yakni Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI. Pembentukan satuan elite baru ini tertuang dalam Perpres Nomor 42 Tahun 2019 tentang susunan organisasi TNI. Keberadaan Koopssus TNI melengkapi jajaran satuan elite yang telah dimiliki TNI. Secara struktural, Koopssus TNI berada di bawah komando Panglima TNI.

Personel Koopssus TNI berasal dari pasukan khusus tiga matra, yakni dari TNI Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat. Mereka merupakan prajurit pilihan yang memiliki kualifikasi untuk melakukan berbagai jenis operasi khusus, baik di dalam maupun di luar negeri, yang menuntut kecepatan dan keberhasilan yang tinggi.

Pembentukan Koopssus ini tidak meniadakan peran pasukan khusus matra lainnya, tapi justru ingin menyinergikan tugas TNI. Brigjen Rochadi diangkat menjadi komandan pasukan ini. Koopssus TNI memiliki tiga fungsi dalam pemberantasan terorisme, yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan

Nantinya, tugas Koopssus TNI lebih banyak bergerak pada penangkalan terorisme. Fungsi intelijen sangat diutamakan dalam pasukan ini. Dari 500 anggota Koopssus, 400 orang di antaranya merupakan personel yang menjalankan fungsi penangkalan terorisme, sedangkan 100 personel lain atau satu kompi melakukan penindakan aksi terorisme. Satuan ini akan disiapsiagakan di Mabes TNI dan sewaktu-waktu bisa digunakan oleh Panglima TNI atas perintah Presiden.

Koopssus TNI sebenarnya bisa dibilang bukan barang baru di lingkungan TNI. Pada 2015, kesatuan serupa yang dinamakan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) dibentuk oleh Panglima TNI ketika itu Jenderal TNI Moeldoko. Namun, setelah Moeldoko turun dari jabatannya, Koopsusgab dibekukan.

Wacana pengaktifan kembali Koopsusgab pun muncul pada 2018 sebagai efek aksi teror di Surabaya. Wacana reaktivasi Koopsusgab saat itu menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang mendukung, Koopsusgab dinilai perlu dihadirkan kembali untuk membantu Polri memberantas terorisme. Adapun kelompok yang menentang mempertanyakan dasar hukum pengaktifan kembali Koopsusgab.

Wacana pengaktifan kembali Koopsusgab itu akhirnya terwujud pada 2019 setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2019 yang menjadi dasar hukum pembentukan Koopssus TNI. Perpres itu menyatakan Koopssus TNI bertugas menyelenggarakan operasi khusus dan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan operasi khusus yang membutuhkan kecepatan dan keberhasilan tinggi guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam ataupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mendukung tugas pokok TNI.

Publik berharap keberadaan Komando Operasi Khusus ini betul-betul tepat guna. Jika tidak maka akan terkesan institusi baru ini hanya sekadar sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah internal TNI. Masalah itu antara lain adalah penumpukan para perwira non-job dan konsolidasi pasukan khusus dari tiga matra TNI dalam satu unit. Keberadaan organisasi baru tersebut tentu akan menambah nomenklatur anggaran baru. Beban APBN akan semakin berat. Semua itu berasal dari uang rakyat.

Selama ini, institusi pelaksana kontra terorisme di Indonesia sudah dilembagakan seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di luar BNPT ada pula Densus 88 Polri yang secara khusus juga masuk di area proyek yang sama. Keduanya memiliki porsi kerja surveillance. Kini muncul institusi baru yang bernama Koopssus.

Tumpang tindih kepentingan sangat potensial terjadi jika tidak ada koordinasi yang solid. Harus jelas teroris jenis apa yang ditangani Polri dan teroris jenis apa yang harus ditangani unsur TNI dengan organisasi barunya plus kewenangan khususnya. Harus ada mekanisme teknis yang jelas agar implemenntasi di lapangan tidak kontraproduktif. Harus jelas dan transparan parameter apa yang mengharuskan Koopssus terjun menangani terorisme.

Baca Juga: