Kontribusi koperasi terhadap perekonomian di Indonesia masih sangat kecil, baru sekitar 8,41 persen, bahkan lebih rendah dibandingkan di tingkat internasional sekitar 16 persen.

JAKARTA - Koperasi diyakini dapat menjadi salah satu pilihan penyelamat ekonomi ke depan ketika terjadi krisis global jika dibangun serius dengan ekosistem memadai. Sayangnya, pengembangan koperasi sebagai pilar ekonomi masih jauh dari harapan banyak pihak.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional itu masih cita-cita. Sebab, dalam praktiknya belum pernah koperasi menjadi kekuatan ekonomi di Indonesia.

"Hari ini saja, koperasi di Indonesia baru sekitar 8,41 persen dan di tingkat internasional, warga dunia yang sudah berkoperasi 16 persen," ujarnya dalam Kuliah Tamu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang dipantau secara virtual, Jakarta, Jumat (16/9).

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM pada 2020, jumlah koperasi di Indonesia sebanyak 127.846 unit dengan anggota sekitar 27,1 juta orang serta jumlah aset sekitar 250,98 triliun rupiah. Menurut dia, jumlah aset yang dimiliki koperasi dinilai masih kecil oleh beberapa korporasi besar.

Meskipun demikian, lanjut Teten, koperasi memiliki kemampuan daya tahan yang luar biasa. Ketika krisis moneter pada 1998, banyak nasabah yang menarik uang tunai di berbagai bank sehingga institusi finansial tersebut mengalami kolaps.

Namun, di koperasi model simpan pinjam, tidak ada anggota yang menarik simpanan dari badan usaha itu karena koperasi dimiliki oleh anggota. "Kehebatan koperasi itu adalah semua orang yang bergabung dalam koperasi menjadi pemiliknya, menjadi tuannya sendiri, sehingga mereka ada trust (kepercayaan) satu sama lain," ucap dia.

Fenomena Anomali

Memasuki krisis pandemi Covid-19, sebutnya, ada anomali disebabkan fenomena delapan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang gagal bayar sebesar 26 triliun rupiah.

Teten merasa kesulitan mencari solusi jangka pendek menimbang koperasi belum memiliki ekosistem baik sebagaimana bank yang memiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas guna mengurus bank gagal bayar. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga akan menanggung simpanan di bawah dua miliar rupiah seandainya bank gagal bayar.

Setelah pertemuan Kementerian Koperasi dan UKM dengan OJK, pihaknya berkesimpulan untuk mendorong koperasi yang telah berpraktik seperti shadow banking masuk ke dalam industri keuangan agar OJK dapat mengawasi. Apabila koperasi bermasalah tersebut hendak tetap berkoperasi, maka harus tunduk dengan aturan yang telah berlaku.

Sementara itu, Praktisi Keuangan Mikro dan Koperasi, Ahmad Subagyo, menilai diperlukan pengaturan yang lebih membangun ekosistem koperasi di Tanah Air, seperti Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang antara lain akan mengatur koperasi dan lembaga keuangan mikro.

Dia menambahkan jika perekonomian suatu negara hanya bergantung pada sistem internasional dan tak ada penahan dari dalam negeri seperti koperasi, ekonomi akan bisa anjlok begitu saja ketika ada goncangan krisis global.

Ahmad mencontohkan salah satu negara yang berhasil menahan krisis dengan sistem koperasinya adalah Spanyol. "Ketika Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan Spanyol ini negara gagal, rakyatnya tidak gagal karena sistem koperasi mereka berjalan cukup efektif dan mereka ada kepercayaan antara satu dengan yang lain. Perdagangan mereka juga berhasil berjalan tanpa menggunakan euro," jelasnya.

Baca Juga: