Pengakuan dan penyesalan pemerintah yang disampaikan Presiden Jokowi atas 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu mendapat kritik dari KontraS, organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi korban pelanggaran HAM.

JAKARTA - KontraS mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat masa lalu yang disampaikan dalam pidatonya di Istana Negara, Rabu (11/1).

Menurut KontraS, pernyataan tersebut tidak ada artinya jika tidak diikuti langkah konkret dalam pertanggungjawaban hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Selain itu, rekomendasi pengakuan atas kejahatan kemanusiaan bukan hal yang baru. Sebab, Komnas HAM sudah merekomendasikan pengakuan dan permintaan maaf kepada presiden saat itu sejak 1999.

Mengutip VOA, Jumat (13/1), KontraS memberikan catatan terhadap hasil dari rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang telah diberikan kepada Presiden.

"Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan berupa pengungkapan kebenaran dan upaya pemulihan sesuai dengan hukum, tidak sekedar jaminan sosial," ujar Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar kepada VOA, Jumat (13/01).

Rivanlee juga menyoroti berbagai rekomendasi pemulihan terhadap korban dan keluarga korban sejak awal reformasi dari berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, DPR, dan Mahkamah Agung. Pemerintah juga telah membentuk berbagai tim untuk kasus ini. Namun, kata Rivanlee, pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh menjalankan rekomendasi tersebut.

"Beberapa pemulihan seperti rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, peningkatan keterampilan, serta beasiswa bahkan telah dikerjakan oleh LPSK jauh sebelum Tim PPHAM dibentuk," katanya.

KontraS mencatat ada beberapa tim yang pernah dibentuk Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tim tersebut antara lain Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran pada 2015, Dewan Kerukunan Nasional pada 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada 2018. Namun, tim-tim ini gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara akuntabel.

Sebagai contoh, penerapan pemulihan korban kasus Talangsari di Lampung pada Desember 2020, hanya menekankan pada pemulihan infrastruktur yang seharusnya menjadi hak semua warga negara, terlepas korban pelanggaran HAM berat atau tidak.

Pada Rabu (11/1), Presiden Jokowi menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Hal itu disampaikan setelah menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Istana Merdeka, Jakarta.

Presiden mengaku telah membaca secara seksama laporan dari Tim PPHAM tersebut, yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2022. Presiden juga menyatakan bahwa dirinya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa masa lalu.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. " kata Jokowi.

Ke-12 peristiwa tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Baca Juga: