Sebuah audisi menyanyi di Afrika Selatan telah menawarkan impian bagi sejumlah kalangan muda. Saat banyak orang memilih profesi sebagai dokter atau pengacara, mereka justru memilih untuk bisa tampil sebagai penyanyi opera.

Dalam keseharian hidup sebelumnya, Luvo Maranti tidak membaca not musik dan satu-satunya hal yang dia ketahui tentang opera adalah siapa itu Luciano Pavarotti. Suatu waktu Maranti dan teman-temannya mencoba menirukan gaya bernyanyi penyanyi tenor asal Italia itu sebelum akhirnya mereka tertawa terbahak-bahak.

Pekan ini, Maranti, 29 tahun, asal dari Afrika Selatan (Afsel) ini akan tampil maksimal di Operalia, salah satu kompetisi opera paling bergengsi di dunia.

Kontes tahunan, yang dimulai di Cape Town pekan ini dan berlangsung hingga Minggu (5/11), digagas oleh penyanyi tenor asal Spanyol, Placido Domingo, 30 tahun lalu. Pada ajang kompetisi opera Operalia kali ini, akan menampilkan 34 kontestan yang dipilih dari kumpulan awal sekitar 800 penyanyi.

Mengikuti jejak superstar penyanyi sopran Pretty Yende, yang bernyanyi pada penobatan Raja Inggris, Charles III tahun ini, lima kontestan di antaranya berasal dari Afsel. Untuk ikut dalam ajang ini, Maranti rela berkorban melepaskan pekerjaan di bidang sumber daya manusia untuk mengejar impian bisa bernyanyi di opera.

Dia harus memberi tahu orang tuanya bahwa dia tidak akan mampu menghidupi mereka untuk sementara waktu dan kadang-kadang menjalani hari-hari tanpa makan sambil mencoba mendapatkan dana hibah untuk mendanai studinya. Walau begitu, ia tidak menyesal mengambil risiko sedetik pun.

"Saya merasa agak egois tapi saya ingin bahagia, tidak duduk di kantor sepanjang hari," kata Maranti kepadaAFP. "Saya harus memulai dari awal," tutur dia seraya menjelaskan bahwa pengalamannya sebelumnya bernyanyi di paduan suara gereja dan musik polifonik saja.

"Opera adalah 'permainan bola' yang sangat berbeda dan saya harus belajar bernyanyi lagu-lagu Barat. Debutnya nanti pasti sangat menegangkan," kenang dia.

"Dengan paduan suara, Anda memiliki rasa aman. Sebagai solois, Anda rentan. Begitu Anda mencapai nada pertama, semua orang dapat melihat isi hati Anda. Saya merasakan begitu banyak penilaian," ucap Maranti.

Namun kini Maranti merasa leluasa, juga ketika ia bernyanyi dalam bahasa Italia, Jerman, dan Prancis.

Penyanyi bariton Sakhiwe Mkosana juga menempuh perjalanan serupa dengan Maranti karena ia berasal dari kota miskin di Afsel ke Frankfurt, Jerman, di mana dia terdaftar dalam program untuk talenta muda.

Dia pernah bermimpi menjadi seorang pengacara. Namun seorang guru sekolah menengah menyadari bakatnya pada hari pertama dia menghadiri uji coba paduan suara dan hal itu menempatkannya pada jalur yang berbeda.

"Jika Anda dapat terus melakukan hal ini, Anda dapat memiliki karier yang sangat bagus," ucap Mkosana mengingat apa yang dikatakan gurunya kepadanya.

"Saya senang berada di atas panggung dan menceritakan sebuah kisah kepada orang-orang yang belum tentu memahami kata-katanya, membawa angan mereka melalui ceritanya," kata pria berusia 29 tahun itu.

"Jika saya bisa meyakinkan siapapun untuk datang ke pertunjukan opera, itu berarti saya sudah menyelesaikan tugas saya," imbuh dia.

Di komunitas kulit hitam di Afsel, laki-laki muda seringkali diharapkan memilih profesi klasik seperti menjadi dokter atau pengacara, kata Mkosana.

Banyak yang mempertanyakan pilihannya, ragu dia bisa mencari nafkah dari suaranya yang mengesankan. Namun panggung Operalia menawarkan peluang penting.

"Kami akan bernyanyi di depan manajer, agen, dan direkturcasting," kata Mkosana.

"Kompetisi ini seperti audisi yang luar biasa," imbuh Nombulelo Yende, penyanyi sopran dan adik dari Pretty Yende.

Perluas Wawasan

Audisi di Operalia ini menawarkan kesempatan untuk terlihat tanpa harus terbang keliling dunia. Di usianya yang ke-32, Yende sudah memiliki karier yang mapan. Namun kontes ini bisa memperluas wawasannya, kata dia.

Di sebuah studio di gedung opera Cape Town, dia sedang berlatih melantunkan karya Mozart dan Wagner. Mengenakan gaun bermotif bunga, tangannya melambai di depan tubuhnya mengikuti irama melodi, saat vibratonya yang kuat menggema.

"Menyanyi opera sangat membebaskan saya. Saya suka memainkan karakter yang berbeda, membangkitkan banyak emosi," ujar dia.

Kontestan lain mengikuti ajang audisi ini yaitu Siphokazi Molteno, seorang penyanyi mezzo sopran berusia 31 tahun dari kota tenggara Gqeberha, yang kini tinggal di New York.

"Saya sudah menyanyi sepanjang yang saya ingat. Tapi opera bukanlah sesuatu yang populer di komunitas saya," kata Molteno.

Sekali lagi seorang guru musik mendorongnya ke arah lain, dengan mengajaknya mempelajari aria Mozart. Beberapa teman sekelasnya terkikik mendengar Molteno bernyanyi, tapi ia mengaku dirinya langsung merasa terikat secara emosional.

"Saya akan mendengarkannya ketika saya sendirian. Di dunia opera yang lebih dalam, saya tahu itu adalah sesuatu yang istimewa, sangat berharga," ungkap dia. AFP/I-1

Baca Juga: