JAKARTA - Konten mata pelajaran (mapel) Pendidikan Kewarganegaraan (PK) jangan menghadirkan satu sudut pandang saja. Sebab, PK merupakan mapel yang secara khusus menjadi sumber utama demokrasi di sekolah.

Demikian disampaikan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Anindito Aditomo, dalam webinar "Membentuk Warga Negara yang Demokratis Melalui Pendidikan," di Jakarta, Kamis (1/7).

"Kalau konten monolitik, PK hanya menyajikan satu pandang sebagai satu-satunya kebenaran. Hal itu tidak menyediakan perbedaan perspektif untuk diperdebatkan," ujar Anindito.

Dia menjelaskan, untuk membangun demokrasi di ruang kelas, proses pembelajaran harus kondusif dan interaktif. Idealnya terjadi di semua mapel. Khusus mapel PK harus mampu menyiapkan peserta didik mampu berdebat dan memiliki pemikiran terbuka sebagai modal bermusyawarah menghadapi pilihan sulit.

"Kalau PK disampaikan sebagai potongan informasi yang sudah jadi, sekadar disampaikan, tak bisa digunakan untuk bermusyawarah," jelasnya.

Banyak Kontradiksi

Pada kesempatan sama, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anggi Afriansyah, menambahkan, banyak kontradiksi untuk menanamkan sikap demokrasi bagi peserta didik. Sebab, banyak kejadian yang bertolak belakang antara informasi yang didapat di ruang kelas dan realita kehidupan berdemokrasi.

Menurutnya, membiasakan siswa berpikir kritis juga bukan persoalan mudah. Dia menyatakan, mayoritas guru hari ini besar di era Orde Baru yang memandang buruk sikap kritis. "Itu jadi tantangan untuk siapa saja yang menjadi guru PK guna menjelaskan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi," ucapnya.

Dia juga menggarisbawahi, ruang kelas yang tidak bisa menjadi arena perjumpaan atas keberagaman kelompok baik agama, etnis, maupun kelas sosial. Tidak hanya di sekolah khusus keagamaan, praktik tersebut juga terjadi di sekolah negeri yang seharusnya jadi lokus perjumpaan.

"Jadi, sekolah sebatas mengejar nilai akademis, masuk perguruan tinggi, dan bekerja. Sisi pembangunan karakter sangat dibatasi dan tergantung pada school culture yang dibangun di sekolah," terangnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim, menyebut beberapa survei rendahnya minat siswa terhadap pelajaran PK. Menurutnya, hal tersebut harus menjadi refleksi untuk meningkagkan pembelajaran baik dari segi konten maupun guru.

Baca Juga: