» Produk Domestik Bruto per kapita mencapai 71 juta rupiah atau 4.783,9 dollar AS.

» Kinerja pertumbuhan yang positif juga berkah dari kenaikan harga berbagai komoditas.

JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS), pada Senin (6/2), mengumumkan realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 lalu yang tumbuh 5,31 persen dibanding tahun 2021, year on year (yoy). Kepala BPS, Margo Yuwono, mengatakan pencapaian tersebut tertinggi sejak 2013. "Saat itu di tahun 2013, Indonesia mampu tumbuh 5,56 persen (yoy)," kata Margo.

Secara nominal, perekonomian Indonesia sudah lebih tinggi dari sebelum pandemi Covid-19 yakni pada 2019 dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku (ADHB) sebesar 15,83 ribu triliun rupiah dan PDB atas dasar harga konstan (ADHK) 10,95 ribu triliun rupiah.

Pada 2022, sebut Margo, PDB ADHB meningkat menjadi 19,59 ribu triliun rupiah dan PDB ADHK tercatat 11,71 ribu triliun rupiah, dengan PDB per kapita mencapai 71 juta rupiah atau 4.783,9 dollar AS.

Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi tertinggi pada 2022 terjadi pada lapangan usaha transportasi dan pergudangan sebesar 19,87 persen (yoy), diikuti sektor penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 11,97 persen (yoy), dan jasa lainnya sebesar 9,47 persen (yoy).

Industri pengolahan memiliki peran dominan dengan tumbuh 4,89 persen (yoy), sedangkan pertanian, kehutanan, dan perikanan, serta perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor masing-masing tumbuh sebesar 2,25 persen (yoy) dan 5,52 persen (yoy).

"Lapangan usaha transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan minum berhasil tumbuh paling tinggi didorong oleh peningkatan mobilitas masyarakat serta peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara," katanya.

Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh komponen ekspor barang dan jasa sebesar 16,28 persen (yoy), yang didorong oleh windfall atau penerimaan tak terduga dari komoditas unggulan. Pertumbuhan tertinggi selanjutnya diraih oleh impor sebesar 14,75 persen (yoy), yang didorong kenaikan impor barang modal dan bahan baku.

Kemudian, konsumsi Lembaga Non Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) tumbuh 5,64 persen (yoy), konsumsi rumah tangga 4,93 persen (yoy), serta pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 3,87 persen (yoy).

Kendati demikian, konsumsi pemerintah tercatat mengalami kontraksi sebesar 4,51 persen (yoy). Secara keseluruhan, konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 2,61 persen.

BPS pada kesempatan itu juga mengumumkan perekonomian Indonesia pada triwulan IV-2022 yang tumbuh 5,01 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (yoy) karena seluruh lapangan usaha yang tumbuh positif.

"Lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi adalah transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan minum dengan industri pengolahan menjadi sumber pertumbuhan tertinggi," kata Margo.

Menahan Konsumsi

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Imron Mawardi, mengatakan capaian pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,31 persen merupakan kompensasi atas tertahannya konsumsi masyarakat selama penurunan ekonomi akibat pandemi.

"Pertumbuhan ini bahkan lebih besar daripada 2019, masa sebelum pandemi. Memang sejak 2013, tren pertumbuhan mengalami penurunan. Lonjakan pertumbuhan sekarang karena kompensasi setelah masyarakat selama ini menahan konsumsi karena berbagai hambatan yang muncul saat pandemi," kata Imron.

Lonjakan itu, papar Imron, merupakan berkah dari naiknya harga-harga komoditas, akibat perang dan faktor-faktor lainnya. Jika tidak ada kejadian luar biasa dan perkembangan dari perang di Ukraina masih sulit ditebak, tren kenaikan diperkirakan masih berlanjut pada 2023.

"Ekonomi Indonesia bisa tumbuh antara 5,3-5,4 persen," katanya.

Pada kesempatan berbeda, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan langkah-langkah yang dilakukan tahun lalu perlu dilanjutkan tahun ini untuk menjaga konsumsi, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak turun.

Tahun ini, pemerintah mengandalkan pertumbuhan dari domestik konsumsi dan pembentukan modal tetap bruto dengan mengandalkan kerja sama pemerintah dengan swasta dan tentu saja penanaman modal asing. "Agar kontribusi konsumsi tetap tinggi maka penting menjaga inflasi tetap rendah," tutup Suhartoko.

Baca Juga: