Banyaknya persoalan di BBM jenis solar ini merusak citra RI di G20 yang diberi mandat memimpin dunia melakukan transisi energi.

JAKARTA - Pemerintah diminta mengurangi penggunaan solar di sektor transportasi dengan mempercepat transisi ke kendaraan listrik. Pengurangan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) solar akan meringankan beban APBN dan efektif mengurangi masalah emisi karbon.

"Pemerintah dan Pertamina jika fokus ke masalah solar saja dalam dua tahun ke depan, maka mungkin separuh masalah emisi di Pertamina selesai terkait emisi CO2. Bayangkanlah BBM solar ini setiap 1 liternya sama dengan 2,4 kg karbon. Itu beban yang sangat besar sekali di masa depan," tegas Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, kepada Koran Jakarta, Rabu (9/11).

Menurut Daeng, di dalam solar berbagai masalah bertumpuk dan sampai sekarang tidak ada kemajuan untuk mengatasi atau menyelesaikannya, di antaranya subsidi yang sangat besar dan cenderung terus meningkat setiap tahun.

"Dunia akan bertanya mengapa Indonesia mensubsidi bahan bakar kotor begitu besar," tandasnya.

Masalah berikutnya, lanjut Daeng, kuota solar selalu jebol karena tidak pernah dapat diperkirakan dengan benar. Pada saat sama konsumsi solar meningkat setiap tahun sehingga membuat banyak negara meragukan komitmen RI mengurangi konsumsi energi fosil.

Kondisi ini, lanjutnya, diperparah dengan merajalelanya mafia solar. Solar digunakan untuk pertambangan batu bara dan sawit.

"Bahkan, bahan bakar kotor digunakan oleh pebisnis yang merupakan pelaku utama pengerusakan hutan Indonesia. Sudah kotor bahan bakarnya, hutan dirusaknya dengan bahan bakar itu," tegas Daeng.

Banyaknya persoalan di BBM jenis solar ini merusak citra RI di G20 yang diberi mandat memimpin dunia melakukan transisi energi. Sementara di dalam negeri, upaya mengurangi konsumsi solar seliter saja sangat sulit.

Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yudo Dwinanda Priaadi, dalam kesempatan terpisah mengatakan semua negara memiliki persoalan tersendiri dalam mengkebut transisi enegi.

Dalam pertemuan para menteri energi di Bali September lalu, terangnya, semua sepakat melakukan transisi energi dengan tidak ada yang tertinggal. "Meski, pada pertemuan itu, negara-negara mengakui ada perbedaan situasi dan kondisi setiap negara serta sepakat untuk mencapai target-target global," ucapnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (8/11).

Dia mengungkapkan para menteri energi menghasilkan sembilan poin komitmen yang tertuang dalam "Bali Compact". Salah satunya meningkatkan pelaksanaan efisiensi energi, mendiversifikasi sistem dan bauran energi, serta menurunkan emisi dari semua sumber energi.

Siapkan Standardisasi

Sementara itu, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengaku terus mendorong pengembangan kendaraan listrik di Tanah Air. Kemenperin, katanya, sedang menyusun standardisasi Battery Pack untuk KBLBB kategori L (light vehicle).

"Pada prinsipnya, kami mendukung dari sisi supply dan memastikan bahwa produksi dari kendaraan listrik bisa cepat tumbuh. Sementara kementerian dan lembaga terkait lainnya menyiapkan infrastrukturnya. Ini harus terkoordinasi dengan baik agar semuanya bisa berjalan lancar," imbuhnya.

Menperin Agus menambahkan, pemerintah membuka seluas-luasnya kontribusi industri dalam mempercepat program kendaraan berbasis listrik tidak hanya pada sektor produksinya, tetapi perusahaan juga dapat berkontribusi untuk membangun ekosistem kendaraan listrik yang ada di Indonesia seperti yang dilakukan oleh ION Mobility.

Baca Juga: