Dampak pandemi masih terus membayangi perekonomian nasional seiring pelambatan inflasi sehingga perlu diwaspadai.

JAKARTA - Laju inflasi kembali melambat sejak akhir tahun lalu hingga Februari lalu. Kondisi tersebut mengindikasikan daya beli masyarakat masih tertekan akibat dampak krisis ekonomi dan kesehatan. Padahal, selama ini, konsumsi menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (1/3), melaporkan inflasi pada Februari lalu tercatat sebesar 0,10 persen dibandingkan bulan sebelumnya (mtm). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan catatan pada dua bulan sebelumnya, Januari sebesar 0,26 persen dan Desember 2020 sebesar 0,45 persen.

Dengan inflasi ini, maka inflasi tahun kalender Januari-Februari 2021 tercatat sebesar 0,36 persen dan inflasi tahun ke tahun (yoy) 1,38 persen. Angka tersebut masih di bawah target inflasi tahun ini di kisaran 2-4 persen.

Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan pergerakan laju inflasi yang melambat pada awal 2021 masih dipengaruhi oleh dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian. "Ini mengindikasikan dampak pandemi terus membayangi perekonomian dan perlu kita waspadai," kata Suhariyanto dalam jumpa pers virtual di Jakarta.

Suhariyanto mengatakan pandemi ini telah menyebabkan mobilitas masyarakat menjadi berkurang, roda perekonomian tidak bergerak, pendapatan ikut berkurang, dan penerimaan menjadi melemah. "Laju inflasi ini lebih lambat dari bulan sebelumnya dan bulan sama tahun sebelumnya. Dampak pandemi belum reda dan terlihat permintaan domestik masih lemah," katanya.

Dia menambahkan inflasi yang melambat ini juga terlihat dari lima kelompok pengeluaran pada Februari 2021 yang tidak memberikan andil sama sekali terhadap inflasi. Kelompok tersebut antara lain pakaian dan alas kaki, kesehatan, informasi, komunikasi dan jasa keuangan, rekreasi, olahraga, dan budaya, serta pendidikan.

Untuk itu, dia mengharapkan adanya upaya lanjutan untuk meningkatkan kembali permintaan, menaikkan daya beli masyarakat dan mendorong kinerja konsumsi rumah tangga. "Dari sisi suplai, bahan makanan terjaga, tapi permintaan masih cenderung lemah. Ini jadi tantangan untuk memperkuat konsumsi rumah tangga ke depan," kata Suhariyanto.

Dalam kesempatan ini, dia memaparkan, selama Februari 2021 sebanyak 56 kota mengalami inflasi dan 34 kota mengalami deflasi dari keseluruhan 90 kota IHK. Inflasi tertinggi terjadi di Mamuju 1,12 persen, dan inflasi terendah masing-masing terjadi di Tasikmalaya dan Sumenep sebesar 0,02 persen.

Sedangkan deflasi tertinggi terjadi di Gunungsitoli sebesar 1,55 persen dan deflasi terendah masing-masing terjadi di Malang dan Tarakan 0,01 persen. "Inflasi tertinggi pada Februari terjadi di Mamuju, atau sama seperti di Januari, karena Mamuju belum pulih usai adanya musibah. Tapi, inflasi Februari ini menurun karena adanya penurunan harga ikan segar," kata Suhariyanto.

Bantuan Tunai

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai data inflasi tersebut mengindikasikan pelambatan permintaan, baik barang maupun jasa. Menurutnya, proses pemulihan ekonomi akan sangat mempengaruhi peningkatan kembali konsumsi masyarakat.

Selain itu, berbagai program bantuan tunai dari pemerintah juga akan sangat berpengaruh dalam menggenjot konsumsi masyarakat. "Bantuan pemerintah seperti bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan kalau dilanjutkan dengan Kartu Pra Kerja, itu akan mempengaruhi inflasi ke depan," katanya.

Baca Juga: