Pemerintah perlu memitigasi risiko dampak resesi global dengan bertumpu pada konsumsi domestik sehingga pertumbuhan sektor riil dan daya beli masyarakat perlu dijaga.
JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi tahun depan bakal sangat menantang sebagai imbas faktor geopolitik sehingga pemerintah perlu mengambil langkah mitigasi untuk meminimalkan dampak buruknya. Salah satunya dengan menjaga pertumbuhan sektor riil dan daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan pemerintah harus bersiap menghadapi resesi pada 2023. Tahun ini mungkin kondisi itu tidak terlalu parah, tetapi tahun depan akan lebih parah sehingga segala antisipasi perlu dipersiapkan.
"Tahun ini, pertumbuhan ekonomi mungkin masih bisa di atas 5 persen, tetapi tahun depan syukur syukur sampai 5 persen," ujarnya ketika dihubungi Koran Jakarta, Kamis (13/10).
Tauhid menambahkan prospek ekonomi tahun depan dibayangi sejumlah permalasahan meliputi potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sehingga berimbas pada pembengkakan anggaran subsidi. Kenaikan BBM akan berdampak terhadap lonjakan tarif transportasi dan harga bahan pangan atau volatile food, terutama harga cabai dan bawang merah sehingga bisa menggerus daya beli masyarakat.
"Ini harus dijaga karena kontribusinya terhadap inflasi sangat tinggi. Produksi dan suplai harus terjaga," katanya.
Tahun depan, kata dia, inflasi diproyeksikan tembus level 5 persen, meskipun tahun ini masih di kisaran 4,7-4,8 persen. Artinya, ancaman itu sangat berat pada 2023.
Selain itu, lanjutnya, suku bunga bank ke depan akan dinaikkan sebagai transmisi dari kebijakan kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Kenaikan suku bunga perbankan tersebut diperkirakan bisa menghambat pertumbuhan sektor riil.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus menyiapkan antisipasi bagi sektor riil, termasuk menambah anggaran KUR kredit usaha rakyat (KUR) dengan mensubsidi bunganya.
Sementara di sisi lain, UU APBN 2023 sudah disahkan, tetapi isinya belum disesuaikan dengan laporan terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) yang memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global tahun depan dari 2,9 ke 2,7 persen. IMF juga menyebutkan 31 negara diperkirakan masuk dalam jurang resesi tahun depan.
"Karenanya, dari sekarang harus dibikin centang biru, pos-pos mana yang direalokasi. Harus ada realokasi anggaran (dalam APBN-P) agar pertumbuhan terjaga," papar Tauhid.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan tidak ada negara bisa menghindar dari resesi global meskipun derajat kedalaman yang dirasakan setiap negara berbeda beda.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah perlu memitigasi risikonya. Cara yang paling mudah dan paling sederhana adalah menjaga daya beli masyarakat.
"Ini penting agar masyarakat tetap melakukan kegiatan konsumsi. Jika konsumsi terjaga maka Pertumbuhan ekonomi juga akan terjaga," tandasnya.
"Stess Test"
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan pemerintah melakukan stress test untuk mengidentifikasi risiko dan langkah yang perlu disiapkan untuk menghadapi ancaman resesi global pada 2023.
"Presiden sudah perintahkan kemarin untuk melakukan stress test. Dicek, kalau ada skenario begini, skenario begini, apa yang terjadi, bagaimana ekonomi kita masih bisa tidak," katanya pada kesempatan lain.