Tidak terasa, sudah 20 tahun Indonesia menikmati masa kebebasan berdemokrasi dalam Orde Reformasi. Masih banyak harapan dan pekerjaan rumah yang belum tuntas, meski sudah dua dekade reformasi. Utang kepada rakyat yang harus dilunasi para pemimpin antara lain, peningkatan mutu pendidikan, taraf hidup, dan kebebasan. Masyarakat benar-benar harus bebas mengungkapkan pemikiran, tanpa rasa takut. Sebaliknya, kebebasan harus dibingkai etika.

Membandingkan situasi menjelang reformasi 1998 hingga mundurnya Presiden Soeharto dengan situasi sekarang menjelang Pemilu dan Pilpres 2019, banyak yang harus dicatat, terutama oleh pemerintahan. Euforia reformasi, penghapusan dwifungsi ABRI, pembatasan kekuasaan presiden, dan perubahan konstitusi atau UUD 1945 bisa disebut telah terpenuhi. Setelah perubahan yang sangat mendasar itu, Indonesia memasuki masa demokrasi langsung yang benar-benar langsung dan rumit. Bahkan, pemilu legislatif yang akan digelar bersamaan dengan pilpres pada pertengahan tahun 2019 dinilai paling krusial.

Lepas dari berbagai persoalan dan tahapan perubahan yang telah dilalui, kita harus bangga dengan sistem demokrasi dan pemilu. Bayangkan, kalau tidak ada perubahan, tak mungkin orang-orang berbakat dan kapabel tapi tidak memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan dan partai, bisa dicalonkan menjadi kepala daerah. Pilkada langsung dan pemilu yang bebas memungkinkan banyak figur muncul.

Namun demikian, konsolidasi demokrasi dan pemantapan sistem politik masih harus terus dilakukan. Sebab masih banyak kelemahan dalam demokrasi langsung. Pola rekrutmen dalam pilkada dan pilpres, juga pemilu legislatif, ternyata masih harus diikuti dengan modal uang besar. Partai sebagai perekrut, memang tidak pernah mengaku minta mahar. Namun faktanya, dengan alasan untuk saksi dan membantu kampanye, setiap calon harus mengeluarkan uang banyak.

Atau jika di suatu daerah seseorang ingin mencalonkan diri, harus mendaftar ke sejumlah partai dengan tambahan uang. Sangat jarang calon benar-benar bebas dari pungutan biaya politik. Sistem seleksi yang diikuti mahar inilah berimplikasi makin banyaknya kepala daerah terjerat korupsi. Dalam konteks konsolidasi demokrasi dan pelembagaan politik ini, memang salah satu yang harus direformasi adalah partai politik. Organisasi yang sangat strategis dan diakui UU sebagai instrumen demokrasi ini memang kunci keberhasilan demokrasi langsung beberapa dekade ke depan.

Keberhasil bukan prosedural pelaksanaan pemilu hingga pelantikan kandidat, tapi proses kontestasi pemilihan baik pilkada maupun pemilu berlangsung sesuai harapan, aman, lancar, bersih dari politik uang, dan menghasilkan para pemimpin kredibel. Jika proses demokrasi sudah mencapai taraf ideal tersebut, implikasinya akan jauh. Di antaranya, tertatanya sistem demokrasi, penghargaan atas keberagaman dan perbedaan. Juga penegakan hukum secara adil. Ujungnya peningkatan kesejahteraan rakyat.

Jadi, gerakan reformasi 1998 harus dilihat dari sisi ideal, menumbangkan rezim otoritarian yang membungkam kebebasan dan melarang berbeda pendapat. Kemudian, digantikan sistem demokrasi yang tansparan dan berkualitas. Sesungguhnya, demokrasi yang sudah dijalankan selama 20 tahun berada pada titik pencapaian, tetapi belum ideal. Semua elemen bangsa, wajib mengawal dan mengisi reformasi sesuai dengan cita-cita para tokoh gerakan reformasi dan mahasiswa yang mengorbankan diri demi kemajuan bangsa.

Kita percaya, jika kesadaran makna reformasi dan menempatkan tujuan politik untuk kemajuan bangsa serta negara, maka berbagai kendala dan kelemahan sistem demokrasi bisa diatasi bersama. Paling tidak, para elite partai politik mau berkorban untuk kemajuan bangsa, bukan kepentingan sendiri. Namun, melihat fenomena saat ini, ketika politik terbelah dalam dua kubu besar, dan sebagian masih mencari pendulum, rasanya harapan itu masih jauh. Semoga peringatan reformasi ini menyadarkan mereka semua.

Baca Juga: