» Tingginya tensi konflik di beberapa negara, disusul konflik-konflik baru menambah berat beban ekonomi global.

» Beberapa kebijakan pemerintah yang seharusnya counter cylical justru dikhawatirkan menekan konsumsi.

JAKARTA - Perekonomian global semakin terbebani oleh stabilitas ekonomi politik internasional yang kurang kondusif dan penuh dengan ketidakpastian. Hal itulah yang menjadi alasan banyak lembaga internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan prospek ekonomi global 2024 semakin suram.

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya, Malang, Adhi Cahya Fahadayna, yang diminta pendapatnya, membenarkan proyeksi suram PBB tersebut. Menurut Adhi, penurunan bukan sekadar akibat perlambatan perdagangan, tapi turut didorong oleh stabilitas politik dan keamanan di dunia yang menurun.

"Kondisi ekonomi global memang akan memburuk. Hal ini disebabkan oleh belum pulihnya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19 beberapa tahun belakangan. Belum pulih benar dari pandemi, kemudian sudah disusul dengan tren memburuknya stabilitas politik dan keamanan di dunia," kata Adhi.

Dengan semakin tingginya tensi konflik di beberapa negara, disusul dengan konflik-konflik baru menambah berat beban ekonomi global. Belum lagi dampak dari bencana iklim yang jelas sangat merugikan.

"Menurunnya tren perdagangan global bukanlah faktor terkuat, melainkan dampak dari pandemi Covid-19 yang belum bisa diatasi dengan baik, ditambah dengan kondisi dunia yang makin tidak stabil dan konflik yang makin merajalela sebagai pemicu ekonomi global melambat," katanya.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa ancaman pelambatan ekonomi global bisa mempengaruhi indikator ekonomi Indonesia salah satunya kinerja ekspor tahun ini bisa melambat terutama ke negara maju.

"Kemudian, bonanza komoditas diperkirakan juga tidak terjadi lagi karena permintaan global lemah," kata Bhima.

Konsumsi rumah tangga, menurut Bhima, masih akan menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini. Tapi hal itu sulit untuk diharapkan bisa menopang pertumbuhan yang cukup tinggi karena beberapa alasan.

Pertama, pendapatan masyarakat di sektor komoditas tambang dan perkebunan yang berkurang mempengaruhi daya beli. Kedua, kenaikan harga bahan makanan masih menghantui kelompok menengah ke bawah.

Ketiga, kata Bhima, adalah beberapa kebijakan pemerintah yang seharusnya counter cylical justru banyak dikhawatirkan menekan konsumsi salah satunya kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen. Begitu pula pembatasan LPG 3 kg juga mempengaruhi konsumsi kelompok menengah rentan," jelas Bhima.

Efisiensi Belanja Publik

Diminta pada kesempatan terpisah, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia rentan terimbas dinamika geopolitik global. Hal itu yang membayang-bayangi perekonomian Indonesia tahun 2024 yang sebenarnya sudah dimulai terindikasi sejak 2023 lalu.

Sampai saat ini, pertumbuhan ekonomi banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga, yang saat ini mengalami pelambatan karena daya beli menurun.

Awan juga menyarankan pemerintah agar melakukan optimalisasi investasi ekonomi rakyat khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Selain itu, harus serius mendorong stabilisasi harga, dukungan produksi dan pemasaran UMKM. Kemudian, yang tidak kalah pentin adalah melakukan efisiensi dan efektivitas belanja publik terutama pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN/APBD). Belanja harus produktif dan diarahkan untuk menggerakkan ekonomi rakyat.

"Belanja yang tidak efisien dan tak efektif harus dihentikan agar tidak boros," kata Awan.

PBB pada pekan lalu memproyeksikan ekonomi global bakal suram pada 2024 karena berbagai tantangan, seperti eskalasi konflik yang meningkat, lesunya perdagangan global, suku bunga tinggi, dan meningkatnya bencana akibat perubahan iklim.

Dalam Laporan Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia 2024, PBB memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 2,4 persen pada 2024, turun dari 2,7 persen di tahun sebelumnya. Angka tersebut lebih rendah dibanding sebelum pandemi Covid-19 dengan tingkat pertumbuhan 3,0 persen.

Baca Juga: