SYDNEY - Laporan Ancaman Ekologis 2021 yang dikeluarkan oleh lembaga pemikir Institute for Economics and Peace (IEP) pada Kamis (7/10), mengungkapkan bahwa ancaman ekologis akan berdampak pada meluasnya konflik dan migrasi massal kecuali ada upaya signifikan yang dilakukan untuk membatasi kerusakan.

Laporan IEP ini dirilis setelah melakukan penilaian terhadap 178 negara dan teritori independen untuk menemukan kawasan atau negara yang paling rentan terancam konflik yang berkaitan dengan masalah ekologis.

Laporan itu memonitor data terkait risiko pangan, air, pertumbuhan penduduk yang cepat, anomali suhu dan bencana alam, dan menggabungkan data tersebut dengan ukuran ketahanan sosial ekonomi nasional seperti pemerintahan yang berfungsi dengan baik, lingkungan bisnis yang kuat, dan juga penerimaan hak warga satu sama lain.

"Kami mencoba untuk lebih memahami seberapa kuat hubungan antara kerusakan ekologis dan konflik, dan ternyata jauh lebih kuat dari yang kami kira," kata Steve Killelea, pendiri dan ketua eksekutif IEP seperti dilansir kantor berita Deutsche Welle pada Jumat (8/10). "Kerusakan ekologis dan konflik itu terkait erat, sekali lagi sangat terkait erat," tegas Killelea.

Studi IEP menemukan bahwa wilayah yang terancam konflik dan kerusakan ekologis seperti bencana alam, kelangkaan sumber daya, dan anomali suhu, jatuh ke dalam lingkaran setan, di mana setiap masalah justru memperkuat yang lain.

Killelea memaparkan bahwa saat sumber daya berkurang, akan ada pihak-pihak yangmemperebutkannya. Konflik kemudian melemahkan semua infrastruktur dan sistem sosial, dan konflik juga turut menghancurkan sumber daya lebih parah, yang kemudian menciptakan lebih banyak konflik.

Wilayah Paling Berisiko

Sementara itu menurut direktur IEP untuk Eropa, Timur Tengah dan Afrika Utara, Serge Stroobants, laporan dari lembaganya ini telah mengidentifikasi 30 negara hotspot yang menghadapi ancaman ekologis tingkat tinggi, yang juga ditandai dengan tingkat korupsi yang tinggi, institusi yang lemah, lingkungan bisnis yang buruk, dan distribusi sumber daya yang buruk.

Tiga wilayah yang ditemukan paling berisiko mengalami keruntuhan (societal collapse) adalah sabuk Sahel-Semananjung Tanduk Afrika yang membentang dari Mauritania hingga Somalia, sabuk Afrika bagian selatan yang membentang dari Angola hingga Madagaskar, dan sabuk Timur Tengah dan Asia Tengah yang membentang dari Suriah hingga Pakistan.

Selain berisiko mengalami konflik lebih jauh, negara-negara di tiga wilayah ini juga kemungkinan besar akan mengalami migrasi massal.

Dalam penjelasannya, Stroobants juga menekankan bahwa perubahan iklim turut berkontribusi atas munculnya ancaman ekologis.

"Perubahan iklim jelas merupakan pemicu dan akselerator dari dampak ancaman ekologis di negara-negara yang paling berisiko," ucap Stroobants.

Dalam kesimpulannya, IEP menyatakan bahwa langkah-langkah bagi membatasi perubahan iklim tidak akan sepenuhnya mengurangi risiko ancaman ekologis pada konflik. Oleh karena itu IEP menyerukan kepada pemerintah dan badan-badan internasional untuk mengintegrasikan struktur yang menggabungkan kesehatan, makanan, air, bantuan pengungsi, keuangan, pertanian, pembangunan dan fungsi lainnya. DW/I-1

Baca Juga: