Oleh Riduan Situmorang

Ramai-ramai pembahasan keterkaitan era 4.0 dengan dunia pendidikan sebagai konsekuensi logis percepatan perkembangan teknologi. Lagi pula, sejak lama impian bangsa diletakkan di pundak sekolah. Namun, tak banyak yang membahas, pendidikan nasional sudah jauh tertinggal. Indonesia masih menerapkan metode pembelajaran usang untuk menghadapi masa depan yang semakin canggih. Dampaknya, hasil didikan akan gagap menghadapi masa depan karena tak pernah mempelajarinya.

Iwan Pranoto menyebutkan pendidikan Indonesia benar-benar mengalami evolution hangover, laju yang jauh terbelakang dari tuntutan zaman. Sekolah masih mengajarkan siswa mengetik dengan keyboard computer. Sementara itu, murid sudah menikmati mengetik di keypad gawai. Sekolah mengajarkan mengolah gambar. Siswa sudah sibuk mengolah video di beberapa aplikasi. Sekolah mengajarkan berita sampai di gawai-gawai. Siswa sudah kadung diserbu berita hoaks penuh sensasi.

Bangsa ingin menatap masa depan, tetapi tetap di masa lalu. Rhenald Kasali pernah bercerita, beberapa orang tua geram karena nilai TIK anaknya (SD) rendah. Padahal, menurutnya, anak itu tergolong piawai lantaran terbiasa dengan komputer seperti mengirim e-mail hingga game. Untuk ukuran anak SD tentu itu sudah piawai. Tetapi, alangkah terkejutnya orang tua ketika hasil ujian anaknya sangat rendah. Sebab pada ujian tertulis, rupanya anak tak mampu menjelaskan arti tombol enter, shift, dan esc.

Indonesia ketinggalan. Betapa tidak, untuk mempersiapkan masa depan, malah mengujinya dengan masa silam. Lalu, ketika siswa tak menjawabnya dengan baik, guru memberi nilai rendah, seakan dia sudah pasti gagal di masa depan. Padahal, kalau dicermati, gurunyalah sebenarnya yang gagal karena masih mengulangi pembelajaran yang sudah sangat usang.

Ibaratnya, guru masih mengajari burung terbang. Celakanya, alat ujinya sebatas pengetahuan (knowledge), bukan kemampuan (skill). Hanya karena burung tak tahu berapa jumlah sayapnya, guru mengecap burung itu sebagai hewan yang mustahil bisa terbang.

Akibatnya, karena alat ujinya sebatas pengetahuan, siswa pun tak terbiasa bernalar, apalagi menguji keterampilannya secara mandiri. Siswa menjadi mesin penghafal, pengulang, dan pencatat. Guru menilai siswa dari hafalannya, bukan terapannya. Murid menjadi mekanis. Semua penilaian dicukupkan ketika pelajar berada di dalam sekolah dan cara menghafal dengan baik. Di luar itu, sekolah tak menjadikannya sebagai referensi penilaian. Guru memahamkan kepada siswa, sumber pengetahuan hanya ada di sekolah dan guru.

Siswa tak diizinkan kreatif. Semua harus sesuai perintah dan petunjuk guru. Maka, misalnya, seorang siswa mengembangkan hasil laboratorium di luar sekolah, guru tak akan menilainya. Guru hanya akan menilai sikap seorang siswa patuh di laboratorium. Guru buta pada perilaku siswa di luar laboratorium. Itulah asal-muasal siswa hanya pintar di atas kertas, tetapi gagap di lapangan.

Murid terampil menghafal sikap bertetangga dengan baik, tetapi gagap ketika hidup berdampingan dengan sesama yang berbeda. Pelajar fasih melafalkan ayat-ayat suci agama, tetapi gugup mengamalkannya di lapangan. Hal ini bukan pepesan belaka. Dalam berbagai survei, Programme for International Student Assessment menunjukkannya. Anak kuat hafalan (yang tak butuh mengolah informasi), tetapi lemah bernalar dan aplikasi (butuh proses informasi).

Karakter

Lalu, belakangan, menghadapi pelajar gagap, guru ikut gagap pula. Ditengarai, moral semakin tergusur, guru lalu menyuntikkan pendidikan karakter ke setiap mata pelajaran, tanpa pikir panjang. Jadilah semua mata pelajaran berkiblat pada karakter. Sekilas, ini masuk akal. Tetapi, jika ditelisik lebih dalam, ini justru sangat aneh.

Contoh, seorang guru matematika lebih banyak berceramah ketika anak didik tidak tahu hasil 135:5. "Itu tak baik. Menambahkan hasilnya adalah korupsi. Mengurangi juga korupsi," katanya. "Jangan korupsi. Itu dosa," lanjut guru itu. Mata pelajaran jadi aneh. Padahal, mengutip Iwan Pranoto, dalam matematika tak dikenal norma jujur. Jika siswa menuliskan 2 + 3 = 7, dia bukan tak jujur, tetapi salah. Juga bila anak didik menghitung luas persegi panjang dengan cara menjumlahkan, bukan mengalikan panjang dan lebar, itu bukan tak patuh, tetapi salah.

Pendidikan membekukan nalar. Semua murid terampil membincangkan karakter, tetapi gagap menerapkan. Ini masuk akal karena bagi sekolah ketuntasan belajar cukup dinilai dari kemampuannya menumpahkan semua huruf ke dalam kertas saat ujian. Sekolah tak peduli sikap anak selama kemampuan memindahkan hafalan ke atas kertas pada masa ujian masih sangat baik. Maka, jangan heran jika hari-hari belakangan, di tengah digembor-gemborkannya narasi pendidikan karakter, justru saat itulah kepada masyarakat disuguhi bergelimang sikap tak senonoh dari siswa ke siswa atau dari siswa ke pegawai/guru dalam bentuk video.

Di video itu, tanpa malu, siswa terbahak-bahak, kadang sambil merokok, meledek guru, tidur saat guru mengajar, atau kadang kelas menjadi 'pasar' tak keruan. Video-video seperti ini cepat viral. Beberapa pelaku di balik video memang ditindak. Namun, tak butuh waktu lama, bahkan sangat berdekatan, video yang mirip akan bermunculan. Tampaknya, kejahatan seperti ini sudah menjadi hobi. Mereka merasa bangga.

Contoh-contoh tadi hanya segelintir kasus. Namun, ini sebenarnya sudah menjadi data yang menunjukkan, sekolah gagap menghadapi tantangan zaman. Guru masih mengajarkan pengetahuan, sedang zaman sudah menginginkan kemampuan. Karena bosan dengan pembelajaran kaku itulah kiranya banyak pelajar jenuh. Dampaknya, siswa mendadak nakal yang pelan-pelan menjadi kebiasaan iseng dan akhirnya berubah tindakan yang benar-benar jahat.

Teknologi lantas dimanfaatkan sebagai ajang pamer dan sensasi belaka karena sekolah tak kunjung mempersiapkan anak didik memanfaatkannya dengan baik. Atas dasar itu, ke depan, tak butuh lagi ribut-ribut mengubah-ubah kurikulum. Bangsa perlu serius mendesain kurikulum agar lebih mematangkan dan merangsang kemampuan pelajar, bukan sekadar pengetahuan. Langkah tersebut sangat mendesak karena, menurut Profesor Lant Prichett dalam tulisan The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesian, pendidikan Indonesia tertinggal 128 tahun.

Dede Rosyada dalam Guru Abad 21, minta generasi muda seharusnya diajarkan memiliki tuntutan abad ini: competition (mampu bersaing), compatible (cocok dengan zaman), multiliteracy. Sebagai catatan, Tan Malaka dulu gemar menghafal. "Tapi," ujar Tan Malaka, "ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan bantah kebiasaan itu. Pada ketika itu saya sadar, kebiasaan menghafal tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin." Tan Malaka sosok revolusioner yang sudah memikirkan dan melakukannya. Lantas, kapan kita?

Penulis Guru SMAN 1 di Sumut

Baca Juga: