JAKARTA - Pemerintah diminta mempertajam strategi pemulihan ekonomi nasional agar pertumbuhan lebih berkualitas, sehingga tercipta lapangan kerja yang lebih luas yang menyerap angkatan kerja. Dengan terserapnya angkatan kerja maka angka pengangguran bisa ditekan kembali seperti sebelum pandemi Covid-19.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo (Bamsoet), dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (10/5), mengatakan jika menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka pengangguran di Indonesia pada Februari 2022 mengalami penurunan. Namun demikian, masih lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi Covid-19.
BPS melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 8,40 juta orang per Februari 2022 atau turun sekitar 350 ribu orang dari posisi per Februari 2021 yang mencapai 8,75 juta orang.
Kepala BPS, Margo Yuwono, mengatakan penurunan tersebut sejalan dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional yang turun dari 6,26 persen pada Februari 2021 menjadi sebesar 5,83 persen pada Februari 2022 atau turun 0,43 persen.
Tingkat pengangguran terbuka merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja dan menggambarkan kurang termanfaatkannya pasokan tenaga kerja.
Meski turun, Margo mengatakan kalau tingkat pengangguran Indonesia belum kembali kepada posisi sebelum pandemi Covid-19. Kondisi ketenagakerjaan Indonesia masih belum sepenuhnya pulih dari kondisi sebelum pandemi Covid-19.
Bamsoet pun meminta pemerintah lebih serius menangani dan mengatasi persoalan angka pengangguran tersebut. "Salah satunya dengan mendorong pembangunan dan pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak," katanya.
Dia juga meminta agar program-program perlindungan sosial bagi pekerja formal maupun informal lebih dioptimalkan agar dapat membantu pemulihan sekaligus menggerakkan roda perekonomian.
Masalah Struktural
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya, mengatakan ada tiga masalah struktural dalam pengangguran. Pertama, unskilled labour, missmatch labour, dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Berkaitan dengan unskilled labour, perlu ada program untuk meningkatkan kualitas dan keahlian tenaga kerja karena tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia rendah, hanya 12 persen yang berpendidikan tinggi.
Begitu juga dengan missmatch labour, yaitu ketidakcocokan antara lapangan pekerjaan dengan tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia.
"Solusinya, pemerintah harus mendorong tenaga kerja Indonesia agar lebih berdaya saing dengan meningkatkan kualitas pendidikan tenaga kerja," paparnya.