Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkap satu dari enam prajurit TNI pelaku mutilasi terhadap empat warga sipil di Kabupaten Mimika, Papua memiliki senjata api rakitan.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapasara menjelaskan temuan itu didapat dari hasil penyelidikan awal yang dilakukan timnya. Sampai saat ini, Komnas HAM telah memeriksa 19 orang saksi, termasuk enam pelaku anggota TNI dan tiga pelaku warga sipil. Komnas HAM juga memeriksa lokasi kejadian dan turut serta dalam rekonstruksi peristiwa.

"Pihak TNI pada pokoknya menerangkan, antara lain adanya informasi pelaku anggota TNI memiliki senjata rakitan," ujarnya pada Selasa (20/9).

Berkat temuan itu, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam menilai temuan itu perlu ditindaklanjuti mengingat tidak terdapat aturan yang melegalkan anggota TNI memiliki senjata api rakitan.

Terlebih Komnas HAM juga mengantongi informasi adanya praktik penjualan amunisi oleh anggota Brigif R 20/IJK/3 pada tahun 2019.

"Bagi kami aneh, kenapa kok dia punya senjata rakitan yang waktunya itu juga cukup lama, kan enggak boleh, siapa pun. mau sipil, militer maupun polisi tidak boleh mempunyai senjata rakitan," jelas Anam.

Komnas HAM bahkan menyebut kasus TNI mutilasi terhadap empat warga sipil ini sebagai pembunuhan berencana.

"Dari berbagai keterangan yang kita ambil, dari berbagai pihak, dan analisis atas fakta. Pertama ada temuan awal perencanaan pembunuhan dan mutilasi," ucap Anam.

Tak hanya itu, Anam mengungkapkan bahwa pihaknya juga menemukan bekas penyiksaan yang disebut Komnas HAM sebagai perilaku merendahkan harkat dan marbat manusia.

"Memunculkan dugaan adanya tindakan kekerasan, penyiksaan dan perlakuan lainnya yang merendahkan harkat dan martabat manusia yang menjadi isu serius dalam Hak Asasi Manusia," papar Anam.

Atas sederet temuan tersebut, Komnas HAM lantas mengecam keras peristiwa mutilasi dan meminta para pelaku mendapatkan hukuman berat. Enam pelaku mutilasi yang merupakan pelaku anggota TNI juga diminta dipecat dari kesatuannya.

"Para pelaku harus dihukum seberat-beratnya termasuk pemecatan dari keanggotaan TNI," tegas Anam.

Komnas HAM juga mendorong pihak kepolisian untuk menyelidiki mutilasi dengan pendekatan scientific crime investigation. Dia menilai jejak digital pada ponsel milik para pelaku penting untuk didalami.

"Yang berikutnya Komnas HAM RI mendorong pendalaman kasus ini dengan pendekatan scientific crime investigation khususnya terkait jejak digital. Oleh karenanya meminta para pihak untuk mendalami jejak digital masing-masing pelaku, baik dalam komunikasi, sosial media, maupun pendekatan digital yang lainnya," ujarnya.

Diketahui, peristiwa pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil itu terjadi empat korban dibunuh Senin (22/8) sekitar pukul 21.50 WIT di kawasan SP 1, di Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika.

Setelah dibunuh, jasad keempat korban dimutilasi sebelum dibuang di sekitar Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Mimika, dalam kondisi terbungkus karung.

Atas peristiwa itu, sebanyak 6 anggota TNI dan 4 warga sipil ditetapkan sebagai tersangka. Namun, salah satu di antaranya dari masyarakat sipil masih buron.

Keenam anggota TNI itu dijerat pasal berlapis, untuk Mayor Inf HFD disangkakan pasal 365 ayat (4) KUHP Jo 340 KUHP jo 339 KUHP Jo 170 ayat (1) jo ayat (2) ke-3 KUHP jo 221 ayat (1) KUHP jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 126 KUHPM jo 148 KUHPM.

Sedangkan lima tersangka Kapten Inf DK, Praka PR, Pratu RPC, Pratu RAS, Pratu ROM dijerat pasal 365 ayat (4) KUHP Jo 340 KUHP jo 339 KUHP Jo 170 ayat (1) jo ayat (2) ke-3 KUHP jo 406 ayat (1) KUHP jo 221 ayat (1) KUHP jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca Juga: