Karena bauran EBT terhadap energi nasional masih sangat kecil, Indonesia belum mengalami greenflation.

JAKARTA - Indonesia belum bisa mengalami fenomena greenflation (green inflation) seperti yang pernah terjadi di Prancis sebab pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri masih rendah. Inflasi hijau itu berpotensi terjadi beberapa puluh tahun ke depan setelah bauran energi hijau di atas 50 persen.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistria, mengatakan dengan komitmen transisi energi yang lemah, baik dalam penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan dorongan ke energi terbarukan maka greenflation itu baru terjadi puluhan tahun ke depan untuk konteks di Indonesia.

Prancis seperti yang dicontohkan salah satu cawapres dalam debat beberapa waktu lalu, papar Bhima, memiliki bauran EBT lebih dari 88 persen. "Tidak apple to apple (sebanding) dengan situasi di Indonesia," tandas Bhima kepada Koran Jakarta, Selasa (23/1).

Bhima mengatakan dampak greenflation belum ada di Indonesia karena sejauh ini bauran EBT juga masih sangat kecil. Di sisi lain, tekanan inflasi di Indonesia justru dipicu fluktuasi harga energi fosil.

"Andai terjadi tekanan pada biaya transisi energi maka solusinya adalah mencabut subsidi dan insentif energi fosil, kemudian digeser ke energi terbarukan. Cara itu akan efektif mitigasi greenflation," ungkap Bhima.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menjelaskan penyebab utama protes atau demo jaket kuning 2018 di Prancis tidak ada hubungannya dengan green energy atau greenflation.

Hal itu terjadi karena kenaikan harga minyak mentah dunia, kenaikan harga BBM, kenaikan pajak BBM fosil (green tax), pengetatan anggaran pemerintah, penghapusan pajak kekayaan, konflik antarkelas, dan protes melawan neoliberalisme.

Kenaikan harga BBM ditambah kenaikan pajak BBM membuat ekonomi kelompok masyarakat bawah bertambah susah. Porsi pengeluaran untuk BBM mencapai lebih dari 15 persen dari total pengeluaran.

"Maka itu terjadi protes. Masyarakat menuntut kenaikan upah minimum, penghapusan pajak BBM, dan moratorium kenaikan harga BBM," paparnya.

Demo rompi kuning, lanjutnya, tidak ada hubungannya dengan green inflation, tetapi dipicu kebijakan ekonomi dan pajak yang memberatkan masyarakat kelompok bawah.

Dengan kata lain, demo yellow vests melawan ketidakadilan ekonomi. Demo rompi kuning yang berawal dari Prancis, kemudian meluas ke seluruh dunia, dilakukan secara bergelombang dan berlangsung lebih dari lima tahun.

"Kenapa protes tersebut bisa bertahan begitu lama? Karena protes rompi kuning pada intinya dapat dilihat sebagai sebuah pertempuran, yaitu antara environmentalists melawan industrialisasi," terangnya.

Efek Netralitas Karbon

Kedua, lanjut Anthony, green inflation adalah konsekuensi dari inisiatif global menuju net zero emission (NZE), untuk menahan pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat Celdius sesuai Perjanjian Paris.

Green inflation adalah istilah inflasi yang dipicu oleh transisi energi dari fosil ke EBT. Biaya investasi untuk green technology jauh lebih mahal dari teknologi fosil karena harga bahan baku untuk produksi energi hijau akhir-akhir ini meningkat tajam dipicu suplai sangat terbatas dibandingkan permintaan sehingga memicu inflasi.

Baca Juga: