» Pemberian izin investasi perlu dipermudah, tetapi tetap selektif untuk menghindari kerusakan lingkungan.

» Bahan baku energi hijau di Indonesia sangat mendukung untuk mengembangkan industri ramah lingkungan.

JAKARTA - Komitmen pemerintah untuk membangun industri berbasis energi hijau harus direalisasikan dalam bentuk kebijakan dan implementasi di lapangan. Komitmen tersebut diharapkan bukan sekadar slogan dan di sisi lain pembangunan sumber-sumber energi seperti pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara terus berjalan.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, di Jakarta, Rabu (29/9), mengharapkan pemerintah benar-benar serius membangun industri berbasis energi hijau. Sebab, dari pengalaman menunjukkan meski sejumlah lembaga memiliki program energi hijau, namun pelaksanaannya jauh dari harapan.

"Sebenarnya di Bappenas sudah ada fokus ke green economy, tetapi nampaknya juga langkah konkretnya belum ada. Begitu juga di Kemenkeu (Kementerian Keuangan) juga sudah ada fokus ke sana, tapi tidak sesuai harapan," kata Nailul.

Dia juga berharap pernyataan yang disampaikan Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, bukan sekadar gimmick. Sebab itu, langkah konkretnya yang akan ditunggu masyarakat.

Langkah konkret, kata Nailul, misalnya dalam pemberian izin investasi, meskipun memberi kemudahan, tetapi harus selektif agar bisa menghindari perusakan lingkungan.

Selama ini, Indonesia sebagai negara berkembang masih menerima investasi apa saja yang masuk asalkan membawa uang dan menyerap tenaga kerja. Investasi yang tidak ramah lingkungan pun pasti diterima pemerintah.

"Contohnya, kasus investasi pabrik semen di Kendeng tidak ada arahan untuk membantu green economy, malah dukung investornya. Jadi, yang kita tunggu sekarang, seberapa serius pemerintah merealisasikan komitmennya," pungkas Huda.

Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, dalam sebuah webinar menyatakan Indonesia berkomitmen membangun industri berbasis energi hijau (green energy) melalui investasi yang masuk.

"Indonesia harus mampu memberikan kontribusi terbesarnya kepada dunia terkait dengan green energy. Karena itu, arah kebijakan yang menjadi prioritas sekarang adalah di sektor-sektor hilirisasi, di industri-industri yang berbasis pada energi hijau," kata Bahlil, di Jakarta, Rabu (29/9).

Potensi Besar

Menurut dia, pertimbangan menjadikan energi hijau sebagai salah satu fokus dalam arah kebijakan investasi karena Indonesia mempunyai potensi besar mengembangkan energi hijau sebagai bahan baku untuk mendukung konsep ramah lingkungan.

Salah satu contoh industri berbasis hijau yang dikembangkan adalah industri kendaraan listrik. Dengan cadangan nikel mencapai 25 persen dari cadangan nikel dunia, maka sangat potensial membangun industri baterai kendaraan listrik karena bahan bakunya yaitu nikel, melimpah.

"Secara kebetulan, Indonesia mempunyai cadangan nikel dunia sebesar 24-25 persen. Ini semuanya ada di Indonesia. Saya yakinkan ketika industri baterainya dibangun di Indonesia maka keyakinan saya bahwa akan memberikan nilai tambah dan melahirkan biaya produksi yang sangat efisien," kata Bahlil.

Dari sektor energi sendiri, jelas Bahlil, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang luar biasa besar. Potensi tersebut seperti PLTA di Kayang, Kalimantan Utara, dengan kapasitas 12 ribu megawatt (MW) dan PLTA di Memberamo, Papua, dengan kapasitas hingga 23 ribu MW.

Hal itu yang mendorong pemerintah membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara serta kawasan industri dengan konsep bisnis atraktif di Batang, Jawa Tengah.

Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan pembangunan industri berbasis energi hijau melalui investasi akan memperkuat ketahanan dan pertumbuhan ekonomi secara bertahap.

"Ini yang disebut industrialisasi tiada henti, dan saat sekarang adalah era industri berbasis energi hijau," kata Bambang.

Baca Juga: