Perlu pendekatan ­multisektor yang memperketat pengendalian sumber pencemaran udara, mendorong peralihan gaya hidup masyarakat, dan meng­optimalisasi fungsi peng­hijauan.

Awal bulan depan, delegasi dari 197 negara akan hadir pada Pertemuan Para Pihak (COP, Conference of The Parties) ke-26, dikenal dengan COP26, di Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya. Pertemuan tersebut untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya.

Pertemuan di Glasgow pada 1-2 November 2021 tersebut akan menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama sejak Persetujuan Iklim Paris ditandatangani pada 2015. Perjanjian yang dikenal sebagai Paris Accord itu, pada dasarnya adalah rencana kemanusiaan untuk menghindari bencana iklim.

Kesepakatan Paris menyatakan bila pemanasan global terus naik melamapui 1,5 derajat Celsius di atas suhu yang pernah dialami di era praindustri, banyak perubahan di Bumi yang tidak dapat kita hindarkan seperti misalnya rusaknya ekosistem laut dan meninggalnya ribuan manusia. Dampaknya memang tidak langsung terasa tetapi bisa membuat kesinambungan bumi menjadi rapuh. Maka rencana yang sudah dibuat harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan untuk itulah fungsinya COP.

Sebagai salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris, Indonesia memiliki komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pemerintah terus berupaya mengurangi emisi GRK sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional. Berbagai aksi sudah disiapkan, mulai dari penisun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan mempercepat pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti pembangkit listrik tenaga surya dan tenaga bayu sampai dengan pengenaan pajak karbon.

Dari yang sudah-sudah, berbagai rencana yang sudah disiapkan pemerintah tersebut hanya tinggal rencana, hanya wacana. Kenyataannya sangat lambat.

Lihat saja, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, realisasi bauran EBT nasional telah mencapai 13,55 persen per April 2021, meningkat 2,04 persen dalam waktu empat bulan dibandingkan data akhir Desember tahun lalu yang baru mencapai 11,51 persen.

Dari 13,55 persen bauran EBT tersebut, pembangkit listrik dari panas bumi sebesar 5,6 persen, air 7,9 persen, dan EBT lainnya 0,33 persen. Masih jauh dari komitmen pencapaian bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.

Semoga saja seusai COP26 di Glasgow nanti, pemerintah benar-benar berkomitmen menjaga kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat Celsius. Rencana mempensiundinikan PLTU Batu Bara harus benar-benar direalisasikan.

Bersamaan dengan itu, perlu pendekatan multisektor yang memperketat pengendalian sumber pencemaran udara, mendorong peralihan gaya hidup masyarakat, dan mengoptimalisasi fungsi penghijauan, sehingga memerlukan sinergitas antar berbagai pemangku kepentingan.

Tentu saja ini membutuhkan dukungan segenap lapisan masyarakat. Tidak cukup dengan membuat aturan pengenaan tarif tinggi terhadap motor yang tidak lulus uji emisi, tetapi menyadarkan masyarakat untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dalam kegiatan sehari-hari. Tentu saja hal ini bisa berhasil jika transportasi umum yang ada nyaman dan tertata rapi.

Baca Juga: