JAKARTA - Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira menekankan agar persoalan inklusivitas di destinasi wisata perlu jadi muatan materi dalam RUU Kepariwisataan. Sebab, menurutnya, mewujudkan inklusivitas bukanlah hal yang mudah, membutuhkan waktu panjang.
Karena itu, RUU Kepariwisataan yang sedang dibahas, perlu menjadikan Bali sebagai benchmark karena dinilai sudah sukses menerapkan inklusivitas antara pembangunan dan kesejahteraan masyarakat selama lebih dari tiga dekade.
"Nah proses inklusivitas ini yang kita perlu masukkan ke dalam UU. Saya kira penting. Contoh kasus yang terjadi di Mandalika atau di Labuan Bajo misalnya ini kan tempat-tempat wisata baru yang justru kelihatannya malah eksklusivitasnya. Ada nomenklatur Destinasi Super Prioritas yang megah, mewah, tapi dikelilingi oleh kemiskinan. Ini yang saya kira perlu belajar dari Bali agar inklusivitas itu terjadi," ujar Andreas dikutip dari laman DPR RI, Senin (2/10).
Ia mengaitkan persoalan inklusivitas dengan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebab, menurutnya, tiap kali Pemerintah membangun destinasi wisata baru, masyarakat di sekitar wilayah tersebut selalu menanyakan apa efeknya bagi kesejahteraan mereka.
"Negara bikin hotel mewah, tapi (mereka katakan) kami dapat apa. Negara suruh mereka terlibat tapi mereka dapat apa. Nah kekhawatiran ini yang harus kita pikirkan sehingga perlu kita masukkan ke dalam UU ini soal pentingnya pembangunan SDM ini. Apakah SDM ini perlu kita masukkan di dalam proses pendidikan formal atau melalui internalisasi di lapangan. Model inklusivitasnya seperti apa," jelas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan.
Diketahui, Pariwisata inklusif merupakan paradigma yang berkembang untuk menghadirkan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dapat menikmati aktivitas pariwisata. Aspek inklusivitas merupakan aktualisasi pariwisata yang berkualitas, adil, dan berkelanjutan.