Negara maju harus mau mendukung implementasi solusi dengan memberikan dukungan pendanaan, alih teknologi, dan pengembangan kapasitas negara berkembang.

JAKARTA - Negara-negara di dunia perlu meredakan ketegangan serta meningkatkan kolaborasi demi mengatasi tantangan ekonomi dan iklim di masa depan. Sebab, tanpa kerja sama persoalan global tak akan pernah terselesaikan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, merespons ajakan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dalam pidatonya di hadapan forum Summit of The Future pada sidang ke-79 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat (AS), awal pekan ini.

Fabby menegaskan tata kelola global perlu direformasi. Karena itu, institusi seperti United Nations Organization (PBB) dan World Trade Organization WTO perlu mereformasi tata kelolanya dengan memberikan kesempatan dan peran serta representasi lebih besar kepada negara-negara ekonomi baru atau emerging market.

Selain itu, tantangan global seperti perubahan iklim, penurunan keanekaragaman hayati, dan pelemahan ekonomi global serta penanggulangan kemiskinan memerlukan kerja sama multilateral yang melibatkan semua negara maju dan miskin.

"Di sini, negara maju harus mau mendukung implementasi solusi dengan memberikan dukungan pendanaan, alih teknologi, dan pengembangan kapasitas negara berkembang," ucap Fabby.

Seperti diketahui, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dalam pidatonya di sidang ke-79 Majelis Umum PBB, Senin (23/9), menyampaikan urgensi bagi reformasi tata kelola global agar mampu menyasar tantangan zaman. Menurut Retno, kondisi rivalitas geopolitik dunia saat ini yang dibarengi dengan suramnya pemulihan ekonomi, serta krisis iklim dan energi membuat masyarakat global harus bersama dalam kolaborasi.

"Sayangnya, kita melihat kebalikannya. Kepercayaan dalam multilateralisme terus memudar dan efektivitasnya juga perlu dipertanyakan," kata Retno.

Dalam pidatonya, Menlu Retno menyoroti pentingnya kerja sama internasional untuk mengatasi berbagai isu global, seperti rivalitas geopolitik, pemulihan ekonomi, serta krisis iklim dan energi. "Perdamaian hanya dapat terwujud jika hukum internasional ditegakkan secara konsisten tanpa standar ganda," kata Menlu Retno.

Selain perdamaian, Menlu Retno juga menyoroti hak atas pembangunan yang adil dan merata, dengan menekankan pentingnya percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. "Diskriminasi perdagangan dan jebakan utang negara-negara berkembang harus dihentikan agar tidak ada negara yang tertinggal," ujarnya.

Menlu Retno juga menegaskan pentingnya reformasi tata kelola global yang lebih inklusif, termasuk reformasi Dewan Keamanan PBB dan sistem perdagangan multilateral, yang harus memperhatikan kepentingan negara-negara berkembang.

Sulit Terwujud

Dihubungi dari Jakarta, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Bina Nusantara (Binus) Malang, Frederik M Gasa, Rabu (25/9), mengatakan reformasi tata kelola global adalah niatan yang sangat baik. Namun, hal itu akan susah untuk dilakukan terutama jika melihat situasi saat ini ketika konflik atau peperangan yang terjadi di antara negara-negara masih terus terjadi.

Hal lain yang juga akan menyebabkan ini menjadi sulit terwujud adalah karena persaingan antarnegara besar terus meruncing. Di satu sisi, kita menikmati persaingan ini karena mereka berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam hal teknologi, pendidikan, dan sebagainya, tetapi di sisi lain kita juga merasakan bagaimana persaingan ini berdampak buruk bagi hubungan antarnegara.

Baca Juga: