Dalam kode Ur-Nammu yang ditulis Raja Ur-Nammu diklaim lahir dari para dewa agar masyarakat tunduk. Undang-undang ini menjadi model bagi kode hukum selanjutnya seperti Hammurabi, dan juga aturan hukum selanjutnya.

Dalam kode Ur-Nammu yang ditulis Raja Ur-Nammu diklaim lahir dari para dewa agar masyarakat tunduk. Undang-undang ini menjadi model bagi kode hukum selanjutnya seperti Hammurabi, dan juga aturan hukum selanjutnya.

Kode Ur-Nammu (The Code of Ur-Nammu) yang berlaku pada 2100-2050 SM adalah kode hukum tertua yang ada di dunia. Undang-undang tersebut ditulis oleh Raja Sumeria, Ur-Nammu (yang memerintah 2047-2030 SM). Ia anak dari Shulgi dari Ur yang memerintah pada 2029-1982 SM.

Hukum tersebut ditulis pada sebuah masa berabad-abad sebelum Kode Hammurabi yang ditulis oleh Raja Babilonia Hammurabi (yang memerintah 1795-1750 SM).

Kronologi singkat menempatkan antara 2050-2047 SM, tepat sebelum atau pada awal pemerintahan Ur-Nammu. Namun demikian kode hukum paling awal dari Mesopotamia adalah Kode Urukagina sekitar abad ke-24 SM yang hanya disebut dalam sebagai referensi dalam karya kuno lainnya.

Kode Ur-Nammu yang ditulis pada sebuah tablet memungkinkan para sarjana memahami visi raja tentang hukum dan ketertiban di negerinya kala itu, dan di dalam hukum itu, ia menampilkan dirinya sebagai bapak bangsa.

Ur-Nammu mendorong rakyatnya untuk menganggap diri mereka sebagai satu keluarga dan hukumnya sebagai aturan di rumah itu. Menurut lamanHistory, Ur-Nammu mengeluarkan undang-undang itu dengan pengertian bahwa rakyatnya tahu bagaimana memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan negara akan memberi denda bagi yang melakukan penyimpangan dengan fungsi sebagai pengingat.

Kode Ur-Nammu dikeluarkan atas nama raja, namun undang-undang itu diperkirakan diterbitkan oleh putranya, Shulgi, setelah kematian Ur-Nammu. Kode tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh penerus Shulgi dan mempengaruhi bentuk dan visi yang mendasari kode-kode selanjutnya seperti Hukum Eshnunna (1930 SM) dan hukum yang ditetapkan di bawah pemerintahan Lipit-Ishtar (1870 hingga 1860 SM).

Kode-kode ini, pada gilirannya, berfungsi sebagai model untuk Kode Hammurabi yang lahir berikutnya. Kode ini mempengaruhi hukum peradaban lain yang mengatasnamakan kekuatan ilahi.

Dalam undang-undang itu, Ur-Nammu mengklaim sebagai representasi kekuatan dewa untuk mempengaruhi perilaku pribadi. Ia mengatakan hukum yang diterimanya dari para dewa. Sedangkan raja seperti dirinya hanyalah administrator bukan pembuat kode, dan ketika seseorang melanggar hukum, mereka memberontak melawan dewa.

Sejarawan Paul Kriwaczek dalam bukuBabylon: Mesopotamia and the Rise of Civilization(St. Martin's Griffin - 2012) mengatakan: "Meskipun ini bukan kode hukum yang sebenarnya, jauh dari komprehensif; atau, ada yang mengatakan, bahkan diperkenalkan oleh Ur-Nammu tetapi oleh putranya Shulgi, kode atau tidak, meskipun kami hanya memiliki fragmen, itu cukup untuk menunjukkan bahwa hukum mencakup masalah perdata dan pidana," tulis Kriwaczek.

Dalam ketentuan itu ditentukan hukum pidana mana yang harus menjadi pelanggaran berat, seperti pembunuhan, perampokan, merendahkan istri pria lain, dan perzinahan jika dilakukan oleh seorang perempuan. Sementara untuk pelanggaran ringan lainnya, hukumannya adalah denda membayar perak.

Kode tersebut dipublikasikan secara luas pada masa pemerintahan Shulgi agar diketahui secara luas. Masyarakat di bawah Ur-Nammu dan Shulgi disebut memiliki seperangkat nilai dan tradisi yang sama, dan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk mendorong perilaku yang tepat dalam parameter yang telah ditetapkan.

Sejarawan Kramer SN dalam bukuHistory Begins at Sumer(1988) menjelaskan aturan tersebut muncul di kolom pada tablet tanah liat dalam tulisan paku. "Tablet itu dibagi oleh juru tulis kuno menjadi delapan kolom, empat di depan dan empat di belakang. Setiap kolom berisi sekitar empat puluh lima ruang kecil beraturan, kurang dari setengahnya yang dapat dibaca. Bagian depan berisi prolog panjang yang hanya dapat dipahami sebagian karena banyaknya jeda dalam teks," tulis Kramer.

Dalam prolog merinci disebutkan Dewa Bulan, Nanna, memilih Ur-Nammu sebagai Raja Ur, membantunya mengalahkan Kota Larsa, dan memberinya undang-undang di mana semua subjek dianggap sama tanpa memandang status sosial. Hal ini untuk menjamin agar anak yatim tidak dimangsa orang kaya, janda tidak menjadi mangsa orang kuat, pria satusyikaltidak menjadi mangsa pria enam puluhsyikal.

Undang-undang tersebut dibingkai dalam pola kalimat bersyarat jika-ini-maka-itu. Beberapa contohnya adalah: "Kode tersebut juga menentukan denda untuk kejahatan yang, di bawah Kode Hammurabi, akan diperlakukan jauh lebih berat. Dalam kode Ur-Nammu, dua pelanggaran khususnya patut diperhatikan. Sedangkan di bawah Kode Hammurabi, jika seseorang merusak mata orang lain, dia membayar dengan salah satu matanya dan juga dengan gigi," tulis dia.

Perubahan

Yang menjadi pertanyaan mengapa Kode Ur-Nammu mengalami perubahan saat diadopsi dalam Kode Hammurabi. Menurut para cendekiawan subyek dari dinasti ketiga Ur memiliki komposisi bangsa Sumeria yang homogen. Pada pada masa raja terakhir, Ibbi-Sin yang memerintah 1963-1940 SM, populasinya menjadi lebih beragam.

Kecenderungan ini berlanjut hingga pembentukan Dinasti Isin oleh Ishbi-Erra (antara 1953-1940 SM). Ishbi-Erra mengalahkan orang Amori dan Elam yang mencoba mengisi kekosongan kekuasaan setelah jatuhnya bangsa Gutia. Beberapa dari mereka tinggal dan bekerja di antara bangsa Sumeria dalam jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.

Pada masa pemerintahan raja kelima Dinasti Isin, Lipit-Ishtar, sebuah kode hukum baru diperlukan. Salah satu ketentuan utama Kode Lipit-Ishtar berurusan dengan perbudakan, yang telah dipraktikkan secara luas, baik oleh orang yang menjual diri mereka sendiri sebagai budak atau anggota keluarga mereka.

Kode tersebut juga mengamanatkan pelayanan masyarakat untuk pekerjaan umum dan menetapkan tarif pajak yang adil dan undang-undang perkebunan. Meskipun undang-undang ini diketahui dan dipahami oleh majelis hukum, mereka biasanya tidak dikonsultasikan dalam mencapai putusan, seperti yang dijelaskan oleh cendekiawan Gwendolyn Leick.

Sistem peradilan Mesopotamia terutama mengandalkan hukum adat yang ditegakkan oleh majelis di tempat lain atau pejabat kota atau pengadilan. Hakim dapat dipilih dari masyarakat setempat atau diangkat oleh raja. Pihak yang terkena dampak mewakili kasus mereka sendiri dan menghadirkan saksi yang sesuai. hay/I-1

Baca Juga: