Jakarta - Sejak pelaksanaan demokrasi langsung di Tanah Air, di mana partai-partai berkoalisi untuk mengajukan calon presiden atau ketika pemerintahan terbentuk lalu partai- partai bergabung membentuk koalisi, tetapi faktanya, koalisi yang dibangun sejak dulu hingga kini, lebih pragmatis, bukan ideologis.

"Jadi, koalisi yang dibangun memang sangat pragmatis dengan tujuan memenangkan calon atau mendukung pemerintahan yang menang. Koalisi ini sangat rentan untuk pecah," ujar pakar politik dari Universitas Indonesia, Chusnul Mariyah ketika berbicara dalam diskusi bertema "Dampak Kemenangan Oposisi di Malaysia terhadap Pemilu 2019" yang diselenggarakan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) di Jakarta, Senin (21/5) petang.

Chusnul mengatakan itu untuk membandingkan bagaimana koalisi dibangun di Malaysia yang lebih solid. Pragmatisme dalam koalisi di Indonesia katanya, dipengaruhi tiga oligarki yakni olgarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki sosial. Namun demikian, Chusnul percaya bahwa koalisi yang snagat solid dan etis bisa dibangun di Indonesia.

Karena itu partai politik harus mampu merekrut calon pemimpin yang juga punya kapasitas sebagai leader atau pemimpin, bukan calon pemimpin yang diunggulkan survei semata. "Pemimpin yang juga leader adalah pemimpin yang mampu membangun narasi kebangsaan bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat dan mampu berperan di kancah dunia internasional," ujar Chusnul.

Sementara itu Ketua umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Alfitra Salam yang jug atampil sebagai pembicara, lebih membandingkan bagaimana gerakan reformasi di Malaysia dilakukan melalui jalur konstitusional lewat Pemilu, sedangkan di Indonesia dilakukan dengan desakan, demo di jalan dan tuntutan mundur presiden.

"Koalisi yang dibangun mantan PM Mahathir yakni Koalisi Pakatan berhasil memenangkan Pemilu dan menyudahi kekuasaan UMNO, pekan lalu. Di Indonesia, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur karedan gelombang aksi mahasiswa yang menguasai parlemen, 21 Mei 1998," papar Alfitra.

Sedangkan ahli Malaysia dari UNI Syarif Hidayatullah, Sudarnoto Abdul Hakim yakin riwayat UMNO sudah tamat untuk beberapa dekade ke depan. Dia juga yakin Mahathir akan menyerahkan kekuasaan kepada Anwar Ibrahim 2-3 tahun mendatang. "Janji Mahathir untuk berkuasa hanya 2 tahun kemungkinan akan ditepati atau paling mabat 3 tahun.

Jika tidak, pasti akan menimbulkan reaksi keras koalisi.," kata Sudarnoto yang pada 2015 menulis buku berjudul Pergumulan Politik Malaysia Kontemporer: Jalan Terjal Anwar Ibrahim itu. Mengenai pengaruh perkembangan politik Malaysia pada Indonesia, Danarnoto menilai, pengaruh Anwar Ibrahim lebih kuat saat ini dibanding Mahathir. "Sebab Mahathir dinilai murid Soeharto dan kesannya kurang baik ketimbang Anwar Ibrahim," katanya. sur/AR-3

Baca Juga: