JENEWA - Lebih dari 1.000 pekerja kesehatan dan 200 organisasi yang bergabung dalam Koalisi Kesehatan, baru-baru ini menuntut agar pemerintahan di seluruh dunia menyusun dan memberlakukan perjanjian nonproliferasi yang mengikat secara hukum, untuk mengakhiri ketergantungan global pada bahan bakar fosil yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

"Kecanduan modern terhadap bahan bakar fosil bukan hanya tindakan perusakan lingkungan. Dari perspektif kesehatan, ini adalah tindakan sabotase diri," kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Dia mendukung Prakarsa Koalisi Kesehatan yang antara lain dimotori oleh Global Climate and Health Alliance, Physicians for Social Responsibility, Health Care Without Harm.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis Rabu (14/9), mereka menyerukan segera diakhirinya eksplorasi, produksi, dan infrastruktur bahan bakar fosil yang baru. Produksi yang ada harus dihentikan dengan "cara yang adil dan merata" untuk memenuhi sasaran iklim 1,5 derajat Celsius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris 2015, dengan "dukungan finansial, teknologi, dan lainnya" untuk warga berpenghasilan rendah dan menengah oleh negara untuk memastikan "transisi yang adil" ke masa depan yang berkelanjutan.

"Usulan untuk sebuah perjanjian bertujuan untuk mendukung apa yang telah didorong oleh komunitas internasional selama bertahun-tahun, tetapi berfokus pada sisi pasokan," kata Direktur Eksekutif Global Climate and Health Alliance, Jeni Miller, kepada DW.

Menurut sebuah studi Mei 2022 di jurnal The Lancet Planetary Health, polusi udara terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan lebih dari 6,5 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun. Lebih dari 90 persen kematian ini terjadi di negara berkembang di Afrika dan Asia. Menurut angka terbaru WHO, 99 persen populasi dunia tinggal di tempat-tempat, di mana udara yang mereka hirup melebihi batas kualitas yang ditetapkan oleh institusi global.

Hubungan antara emisi bahan bakar fosil dan kesehatan menjadi lebih jelas selama gelombang pertama pandemi Covid-19, ketika kota-kota di seluruh dunia mengalami lockdown. Dengan bisnis ditutup, jalan-jalan kosong dan banyak orang tinggal di rumah, emisi karbon menurun dan kualitas udara meningkat di banyak kota-kota besar.

Baca Juga: