Penetapan tersangka tindak pidana korupsi hingga tindak pidana pencucian uang (TPPU) sering kali hanya dibebankan kepada orang-perorangan.

Padahal, kasus aliran uang panas itu, terjadi membawa nama perusahaan yang tentunya menguntungkan perusahaan tersebut hingga menyebabkan kerugian negara yang cukup besar.

Hingga tahun 2019, tercatat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menetapkan enam tersangka korporasi. Keenam tersangka korporasi itu, yakni PT Duta Graha Indah (DGI) atau PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE); PT Tuah Sejati; PT Nindya Karya; PT Merial Esa; PT Palma Satu dan PT Tradha.

Untuk itu, Koran Jakarta telah merangkum jawaban dari Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan (Unpar), Agustinus Pohan, tentang tanggung jawab pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.

Apa alasan atau latar belakang sehingga harus mempidana korporasi?

Dahulu yang bisa dipidana hanya orang, terus kita punya kebutuhan, kenapa kita perlu memidana atau menghukum korporasi. Alasan pertama, karena adanya realitas mengenai dimensi kejahatan korporasi, betapa dimensinya itu luas yang berkaitan dengan finansial.

Realitas mengenai dampak yang ditimbulkan, apa akibat-akibat yang terjadi di dalam kejahatan korporasi, kalau kita bandingkan dengan kejahatannya orang-perorangan. Ketiga adalah soal pertimbangan keadilan dan keempat sebagai cara untuk mengubah perilaku korporasi.

Kita lihat soal dimensinya, terdapat kejahatan finansial, kejahatan lingkungan, kejahatan di bidang konsumen, itu dimensi yang sangat luas dari kejahatan korporasi.

Apa akibat dari kejahatan korporasi?

Akibat dari kejahatan korporasi bukan soal finansial saja. Kejahatan korporasi juga mengakibatkan hilangnya nyawa, penderitaan yang luar biasa, yang kalau kita bandingkan dengan kejahatannya orang-perorangan ternyata kejahatan korporasi bisa menghilangkan nyawa lebih banyak dibandingkan orang-perorangan.

Kita bisa bayangkan akibat dari cancer (kanker) yang melanda masyarakat akibat dari produk yang tidak sehat, yang dikonsumsi oleh masyarakat. Bayi-bayi yang cacat, sakit akibat dari tercemarnya sungai-sungai kita yang masih digunakan oleh masyarakat untuk kehidupan sehari-hari misalnya. Jadi, bukan hanya kerugian uang, tetapi kerugian kehilangan nyawa itu juga sangat tinggi.

Bagaimana pertimbangan keadilannya?

Pertimbangan keadilan begini, kalau kita dalam kejahatan-kejahatan berskala besar, itu hanya menghukum orang, hanya menghukum pelaku materialnya. Direksi, direktur utama misalnya, mungkin apakah cukup adil? Karena kejahatannya begitu luar biasa.

Mau kita bebani berapa hukumannya yang pantas. Apalagi kalau kita mau kasih sanksi finansial, karena kemampuan membayarnya orang perorangan, direktur misalnya itu juga sangat terbatas.

Apalagi kalau kita melihat bahwa orang-orang yang kemudian kita kejar, kita jerat itu adalah sekadar para profesional, yang setiap waktu bisa diganti. Dia dipenjara ganti lagi, cari lalu pasang iklan, dalam waktu satu Minggu sudah dapat direktur yang baru.

Sehingga ada persoalan keadilan kalau kita hanya mengejar orang perorangan di dalam korporasi di mana kejahatannya, menimbulkan akibat yang sangat itu tadi. Oleh karena itu, untuk memberikan keadilan maka diperlukan juga, untuk memidana korporasi.

Supaya kalau ada sanksi-sanksi finansial bisa dibebankan sanksi finansial yang adil, dan bisa dibayar oleh korporasi. Karena korporasi itu mustinya lebih kaya dibandingkan dari orang perorangan didalam perusahaan itu.

Apakah ini juga sebagai cara mengubah perilaku korporasi?

Kalau kita approach (pendekatan) hanya kepada orang-perorangan, apalagi saya katakan tadi orang-perorangan itu adalah para profesional, tadi profesional diganti, hadirkan profesional baru tanpa ada dampaknya bagi korporasi.

Kita kan berharap korporasi-korporasi kita, korporasi yang sehat. Korporasi yang jauh dari budaya kriminal. Sehingga bisa menopang perekonomian negara dengan kokoh. Karena tidak didukung oleh perilaku-perilaku jahat yang ada dalam korporasi. n yolanda permata putri syahtanjung/P-4

Baca Juga: