Judul : Jprut

Penulis : Putu Wijaya

Penerbit : Basabasi

Cetakan : Pertama, Agustus 2017

ISBN : 978-602-6651-24-2

Momentum bencana tsunami di Aceh dan DIY membuat Amat, tokoh utama dalam novel ini, merenungkan kembali nasionalisme bangsa Indonesia. Amat mengkritisi media cetak yang membesarkan berita seseorang, tapi lupa memberitakan Aceh yang masih banyak perlu diliput.

Dia protes, "Ada ibu-ibu yang melaporkan mayat di samping rumahnya, tapi tidak mau ikut mengebumikan karena bukan keluarganya. Tapi, setelah diingatkan seharusnya ikut membantu, ia baru tersadar. Juga masih ada yang tega melakukan penjarahan. Di beberapa tempat pakaian-pakaian berserakan seperti tanpa guna, sehingga untuk sementara sumbangan pakaian disetop (hal 30)."

Sesuai dengan anjuran redaksi, opini tersebut akhirnya ditulis dengan bantuan istrinya, Bu Amat dan putrinya, Ami. Tulisan itu berhasil dimuat koran. Bagian terbaik dari buku ini isi opini tersebut. Amat bimbang menerima honor tulisan di tengah penderitaan korban bencana.

Dengan dalih pemutihan, honor tersebut disumbangkan kepada korban melalui putrinya. Namun oleh anaknya untuk mentraktir Amat di hari ulang tahunnya. Ami beralasan tulisan ayahnya telah membangkitkan empati masyarakat, sehingga tak perlu lagi ada pemutihan.

Buku ini terbit bulan Agustus, identik dengan peringatan hari ulang tahun Kemerdekaan Indonesia. Pembaca diajak merenungi kembali makna kemerdekaan. Menurut Amat, kemerdekaan tidak usai dibicarakan, meski telah 52 episode seperti sinetron Merdeka yang rutin dinikmati istrinya.

Amat mempersepsikan merdeka dan tidak merdeka merupakan satu paket. Karena di dalam kemerdekaan terkandung aturan-aturan yang membatasinya supaya kemerdekaan satu sama lain tidak saling bertabrakan. Di dalam kemerdekaan terdapat konsekuensi yang tak bisa dihindari. Misalnya, perbedaan pandangan yang mengakibatkan saling serang, perpecahan, hingga kehancuran.

Singkatnya, seperti kalimat yang terdengar olehnya dari sinetron Merdeka, "Meskipun aku merdeka, aku tidak merdeka. Tapi biar pun aku tidak merdeka, aku merdeka (hal 47)."

Ketika kita menengok realitas saat ini akan menyetujui puisi Widji Tukul Kemerdekaan adalah nasi/dimakan jadi tai. Puisi pendek itu sangat memukul bangsa Indonesia karena kebenarannya. Ya, perayaan-perayaan kemerdekaan tidak lebih dari simbol-simbol. Setelah itu, penindasan kembali terjadi. Pembubaran atau penyerangan ormas terhadap ormas lain berlanjut. Tumpang tindih kepentingan menjadi-jadi. Kemerdekaan berumur sekitar sehari.

Buku ini membahas simbol-simbol perayaan kemerdekan. Dalam adegan bendera lusuh yang dikibarkan warga daerah Amat dan bendera robek oleh istrinya, Amat menganggap bukan masalah. Niat memperingati proklamasi yang sebenarnya membangkitkan kembali semangat melawan penindasan dan ketidakadilan.

Di akhir cerita ada renungan melalui percakapan Amat dan Ami yang hendak berangkat ke daerah bencana untuk memberi bantuan. Hal itu batal dilaksanakan lantaran Ami menyadari tidak mumpuni memberi tenaga bantuan dan hanya akan menyusahkan saja. Namun dengan bijak Amat mengarahkan, "…Kalau kamu menyumbang seperak dua perak, tidak ada gunanya. Tapi, kalau kamu ke sana unjuk muka, bicara dengan mereka, langsung menolong mereka, meskipun hanya sekadar memegang kakinya, kamu akan membantu perasaan mereka (hal 170)."

Novel yang ditulis 2004 hingga 2017 ini bergelimang retorika. Di tengah kehidupan yang kian pragmatis, bacaan ini berhak mengisi dan menghidupkan rohani. Cara berpikir bangsa pun akan banyak tecerahkan dalam memandang fenomena perayaan kemerdekaan.

Diresensi Karim Ilham, Mahasiswa Sastra Prancis UGM

Baca Juga: