Judul : Anak Rantau

Penulis : A Fuadi

Penerbit : Falcon

Terbit : Juli 2017

Tebal : 382 hal

ISBN : 978-602-60514-9-3

Alam semesta penuh kejutan. Hanya manusia perlu mengamati dan merenungkan agar dapat mengambil pelajaran darinya. Alam takambang jadi guru atau alam terkembang jadikan guru. Begitulah orang tua di Minang menyebutnya (hal 18). Buku ini menceritakan anak Jakarta bernama Donwori Bihepi (Hepi) yang ditinggalkan ayahnya, Martiaz, di Tanjung Durian, di ranah Minang sebagai hukuman karena tidak lulus sekolah.

Tanjung Durian sendiri merupakan tanah kelahiran Martiaz. Di kampung itulah, Hepi tinggal bersama kakek dan neneknya. Hepi yang merasa dibuang ayahnya berjanji akan kembali ke Jakarta dengan usaha sendiri. Dia lalu mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dia bertemu tokoh-tokoh dengan berbagai karakter. Dia juga mengalami petualangan menyenangkan, mengharukan, dan bahkan mendebarkan.

Hepi mulai belajar makna kehidupan dari setiap petualangan yang dialami. Petulangan Hepi selalu diiringi kedua kerabat, Attar sang penembak jitu dan Zen si penyayang binatang. Ketiganya bertemu satu karakter yang penuh misteri. Tokoh ini memiliki tatapan tajam, jadi mesin pencetak uang dan pemangsa binatang hidup. Namanya Pandeka Luko.

Namun dari Pandeka Lukolah, Hepi belajar menghadapi luka masa lalu. "Manusia tidak akan ditinggalkan Tuhan. Jangan takut sewaktu menjadi orang terbuang. Takutlah membuang waktu. Manusia tidak dibuang. Hanya merasa dibuang. Manusia tidak ditinggalkan. Dia yang merasa ditinggalkan. Ini hanya soal memberi terjemahan pada nasib" (hal 255-256).

Keberhasilan Hepi, Attar, dan Zen membongkar kasus pencurian di kampung Tanjung Durian juga mewarnai petualangan. Bahkan, pundi-pundi rupiah yang dikumpulkan untuk kembali ke Jakarta yang ikut digasak maling tak terselamatkan, meskipun pelakunya sudah tertangkap. Pelakunya bereputasi bagus di mata Hepi.

Alam terkembang jadi guru. Itulah moto hidup Hepi sejak bersama kedua kerabat berhasil membongkar kasus pencurian tersebut (hal 302). Kalimat itu pernah diucapkan ayahnya. Buku juga memperkenalkan budaya Minang dalam beberapa bagian ceritanya. Untuk memudahkan pembaca, disertakan pula glosarium di halaman 359-362. Buku ini juga menceritakan dinamika kehidupan orang kampung yang perlahan mulai meninggalkan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak.

Banyak orang tua menyuruh anak-anak pergi ke surau, tapi mereka sendiri hanya setahun sekali. Tungkek bana mambao rabah -- tongkat yang malah membawa jatuh rebah, panutanlah yang membawa musibah-- (hal 168-169). Ada juga ilustrasi peta yang menggambarkan lokasi kampung Tanjung Durian agar pembaca lebih mudah untuk berimajinasi setiap sudut kampung itu yang menjadi latar cerita.

Buku ini menyimpan banyak pesan tentang makna keluarga dan persahabatan serta belajar menghadapi luka masa lalu. Ada juga pelajaran memaafkan.

Diresensi Siti Musayaroh, Mahasiswi Pascasarjana UPI Semester 3

Baca Juga: