JAKARTA - Saat sedang di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah, Jakarta, Presiden Soekarno, akhirnya mengetahui adanya gerakan 30 September yang berujung dengan penculikan sejumlah Jenderal TNI AD.

Seperti dikutip dari buku Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965, Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain, yang ditulis James Luhulima (2007), ketika di Halim, Presiden Soekarno, sempat menerima laporan dari Brigjen Soepardjo yang melaporkan bahwa ia dengan sejumlah perwira lainnya, telah mengambil tindakan kepada sejumlah jenderal.

Kepada Bung Karno, Soepardjo juga melaporkan, tindakan itu diambil karena para jenderal Angkatan Darat itu hendak melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965. Mendengar itu, Bung Karno lantas menanyakan, apakah Soepardjo punya bukti para jenderal akan melakukan kudeta.

Soepardjo pun berjanji akan mengambil bukti itu, yang katanya ada di markas TNI AD. Tapi, hingga ditangkap, Soepardjo tak pernah membawa bukti yang diminta Bung Karno.

Sepeninggal Soepardjo, Bung Karno pun meminta ajudannya Kombes Polisi Sumirat, untuk memanggil Menteri/Panglima TNI AL (Menpangal) Laksdya RE Martadinata, Kapolri, Jenderal Sutjipto Judodihardjo, Panglima Kodam V Jaya, Mayjen Umar Wirahadikusumah, Jaksa Agung Brigjen Soetardjo dan Wakil Perdana Menteri J Leimena.

Kombes Sumirat pun bergegas melaksanakan perintah Presiden. Ketika dalam perjalanan menuju Markas Kodam, Sumirat sempat menjemput ajudan Bung Karno lainnya, Kolonel KKO Bambang Widjanarko di Istana Merdeka. Ternyata, sesampai di markas Kodam, ternyata Jenderal Umar tak ada di tempat. Menurut tentara yang bertugas di sana, Jenderal Umar sedang ada di Markas Kostrad.

Lantas Sumirat dan Bambang pun segera putar haluan menuju markas Kostrad. Sampai di sana, ia langsung menghadap Mayjen Soeharto, Pangkostrad dan menyampaikan perintah Bung Karno yang meminta Jenderal Umar menghadap ke Halim.

Mendengar itu, Soeharto berkata dengan tegas, melarang Jenderal Umar datang ke Halim, menghadap Bung Karno. Dan, Soeharto minta, agar itu disampaikan ke Presiden.

Bahkan ketika itu Soeharto juga menegaskan, segala instruksi menyangkut Angkatan Darat, hendaknya disampaikan melalui dirinya.

"Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Pangdam V Jaya tidak dapat menghadap, dan karena saat ini Panglima Angkatan Darat tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk Angkatan Darat disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad," kata Soeharto seperti dikutip James Luhulima dalam bukunya Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965, Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain.

Kedua ajudan Bung Karno lantas berpamitan. Sampai di Halim, keduanya melaporkan apa yang terjadi di Markas Kostrad. Mendengar itu, Bung Karno marah bukan main. Sebab, tindakan Mayjen Soeharto, bentuk pembangkangan kepada Presiden, panglima tertinggi semua angkatan.

Tapi yang pasti, 'pembangkangan demi pembangkangan' kemudian dilakukan Soeharto. Misalnya, saat Bung Karno mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamodra, yang saat itu menjabat Asisten Menpangad Bidang Personel. Kelak, Jenderal Pranoto dijebloskan ke penjara dengan tudingan terlibat dalam gerakan G30S.

Baca Juga: