Pengilon adalah cermin, memantulkan bayangan kita sendiri dan seluruh ruang yang sanggup direngkuhnya. Sebuah benda yang entah sejak kapan berkonotasi dengan perempuan, yang dandan berlama-lama di depan cermin.

Museum Sonobudoyo menggunakan benda itu sebagai tajuk pameran temporer 2017, perhelatan setahun sekali yang membawa koleksi museum ke sebuah pameran berkuratorial tertentu dengan tujuan mendekatkan diri dengan khalayak ramai.

Pengilon: Kisah Perempuan dalam Silang Budaya, itulah tema utama yang dipilih oleh pameran temporer Sonobudoyo tahun ini. Sebuah pameran yang memajang 380 koleksi Museum Sonobudoyo yang terkait dengan cermin dan benda-benda lain yang digunakan perempuan Nusantara di masa lalu.

Pameran dibuka oleh GKR Mangkubumi pada Selasa (5/12) malam dan akan berakhir pada Jumat (15/12). Bertempat di eks Gedung KONI Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, pameran ini dikuratori Greg Wuryanto, Sri Ratna Saktimulya, Suzie Handajani, DS Nugrahani, dan Ons Untoro dan dinyatakan sebagai ruang refleksi terhadap peran perempuan dalam sejarah peradaban Nusantara dan kenyataan perempuan Indonesia kontemporer.

Memasuki ruang pamer, sebelum mencapai pintu permanen Gedung Koni pengunjung akan melewati sebuah lorong berbentuk L yang dibentuk dinding buatan berbalut kain hitam. Di dinding itu terpancang foto dan kutipan-kutipan dari tokoh perempuan, Kartini, Menteri Susi, hingga Najwa Shihab dan Dewi Lestari.

Sebagai tema pameran, bermacam-macam cermin bisa kita temui di sini. Sepasang cermin besar, inilah yang biasa disebut sebagai pengilon, yang biasanya justru diletakkan bukan di kamar, namun di ruang tengah keluarga Jawa sebagai simbol status sosial bisa kita bandingkan dengan Derpana, artefak cermin peninggalan masa klasik. YK/R-1

Retno Dumilah, Srikandi, dan Durga

Pakar Sastra Jawa Skriptorium Pakualaman, Sri Ratna Saktimulya dalam pengantar kuratorialnya secara khusus membahas peran 2 permaisuri Raja pendiri Kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senapati (bertahta 1584-1601) yakni Adisari dan Retna Dumilah. Adisari sanggup meyakinkan Retno Dumilah yang notabene putri Adipati Madiun, musuh Panembahan Senapati, untuk menjadi duta perdamaian kedua wilayah.

Dalam kisah yang termuat dalam Babad Matawir saha Candra Nata itu, Ratna Dumilah dan Adisari dilukiskan sebagai putri yang keanggunannya terbentuk dari dalam jiwa sehingga memunculkan kewibawaan. Bukan keanggunan sesaat sebagai dampak tatarias dan busana.

"Penyebab keunggulan mereka berdua bukan kecantikan tapi sikap sumarah, tulus, dan pemberani. Berani menempuh risiko demi tujuan mulia. Hal itu bisa terwujud berkat tekad yang mantap dan bakti mereka kepada suami," katanya.

Sebagai Srikandi, perempuan hadir dengan kulit kuning, cantik bak rembulan, tubuh sintal, tinggi semampai. Ia adalah kekasih Arjuna yang diceritakan dalam Bhisma Parwa sebagai sumpah yang menyebabkan kematian Resi Bhisma sehingga Pandawa menang melawan Kurawa.

Sedangkan arkeolog UGM, DS Nugrahani, melihat sosok perempuan dalam pemujaan Sakti yang terepresentasi dalam sosok Durga. Sebagai sakti Shiwa, Durga memiliki dua karakter penggambaran yang bersifat lembut halus dan bersifat agresif dan dinamis.

Durga bisa menjadi dewi cantik yang memegang berbagai senjata di genggaman sepuluh tangan dan mengendarai singa, berangkat ke medan perang mengalahkan Mahisasura. Durga juga bisa menjadi dewi pelindung biji-bijian agar dapat tumbuh subur dan memberi kesejahteraan masyarakat.

Tapi dalam kisah Sudamala, Durga berubah jadi Uma yang dihukum Shiwa karena kesalahannya dan harus menjalani hukuman hingga diselamatkan Sadewa sehingga menjadi suci kembali dan dapat kembali ke kahyangan.

"Tetapi salah satu arca Durga di Museum Radyapustaka Solo, Durga digambarkan tidak memegang senjata meski tetap digambarkan memiliki 8 tangan. Apabila Durga digambar tidak memegang senjata di tangannya, itulah saatnya melakukan refleksi. Pertanyaannya, bagaimana refleksi itu musti dilakukan," kata Nugrahani.

Bagaimana refleksi itu musti dilakukan barangkali menjadi pertanyaan terpenting dari pameran yang di dinding lorong masuk terdepan terpampang foto Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, dengan kutipan kata-kata Najwa Shihab yang berbunyi, "Kini zaman sudah berganti. Peran perempuan tidak lagi gampang dikebiri hanya dengan alasan patriarki."

Pada cermin refleksi hanya mungkin terjadi karena cahaya. Manusia memerlukan bahasa untuk merenungkan segala yang dilewatinya. Dan kata-kata Jawa, Inggris, Belanda, segala bahasa, selalu tersedia di sana, sebanyak ikan di laut, apalagi untuk sekadar menggantikan frasa Habis Gelap Terbitlah Terang yang kadung menjadi mantra kelewat sakti itu. YK/R-1

Dari Dandan Hingga Perang

Dalam pengantar kuratorialnya, dosen arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, Greg Wuryanto mengatakan, koleksi darpana yang menjadi bagian dari warisan budaya ngadi salira ini dihadirkan bersama dengan beragam koleksi museum lainnya.

"Keragaman koleksi disusun dalam struktur klasifikasi yang mengisahkan peran perempuan dalam prakarsa kebudayaan hingga narasinya mengenai berbagai bentuk otonomi dan perlindungan diri perempuan," katanya.

Maka kita bisa menyaksikan benda-benda yang khas perempuan seperti tempat menyimpan perhiasan, kipas kulit berornamen wayang, gelang, sisir penetep, bothekkan jamu, sambul tempat air mawar para putri raja, hingga ratus rambut dan ratus vagina. Benda-benda yang secara khusus terkait dengan dunia perempuan di kehidupan agraris seperti kacip alat pembelah pinang dan gambir, ani-ani, lesung, dandang, pemintal benang, hingga kursi membatik yang jarang dijumpai juga dihadirkan.

"Kursi batik ini saya belum pernah melihat, bahkan tidak dipamerkan regular di museum Sonobudoyo. Patung ande-ande lumut itu juga saya belum pernah melihat. Ini saya kira pameran menarik dan bagus sekali," kata Mahirta, dosen arkeologi UGM.

Pameran juga memperlihatkan sosok perempuan sebagai sosok sakti dan tak terkalahkan dalam dunia perang yang sangat laki-laki, yang terepresentasi dalam tokoh wayang Srikandi, Bathari Durga, dan Ratu Shima.

Pengunjung juga bisa melihat berbagai macam Patrem dan Sombro, dua jenis senjata sejenis keris yang khusus digunakan perempuan. Patrem adalah salah satu senjata jenis keris yang memiliki panjang rata-rata sekitar 15-25 cm. Sedangkan Sombro adalah nama seorang empu keris wanita yang diyakini dari Pajajaran yang ciri khas kerisnya berbeda dengan Patrem, yakni berbilah tipis, pendek, dan memiliki bekas pijitan jari.

"Mari kita sama-sama, terutama generasi muda perempuan, untuk becermin dari seluruh masa lalu kita agar kita bisa mengambil pelajaran dan bisa mengaktualisasikan dalam kehidupan kita saat ini," kata GKR Mangkubumi. YK/R-1

Baca Juga: