Bagi masyarakat Tengger yang tinggal di Desa Ngadas dan Jetak, Kecamatan Sukopuro, Probolinggo, Jawa Timur, air ibarat emas. Untuk mendapatkan air bersih, tak jarang warga harus turun ke dasar jurang sedalam ratusan meter sebelum diangkut ke rumah.

Tak seperti daerah pegunungan pada umumnya, Ngadas dan Jetak merupakan desa di daerah pegunungan yang memiliki persoalan air bersih menahun. Terlebih lagi pada musim kemarau, sangat sulit mendapatkan air bersih.

"Di sini air ibarat emas, saat kemarau bahkan seluruh keluarga, termasuk anak-anak, harus ikut turun ke dasar jurang untuk membantu mengangkut air ke rumah," kata Camat Sukopuro, Yulius Christian, saat ditemui di kaki Gunung Gentong, Probolinggo, Jawa Timur, Senin (27/11).

Kepala Desa Ngadas, Kastaman, mengatakan menemukan sumber air di daerah Bromo memang tidak mudah. Dua kepala desa dan beberapa warga pun harus turun langsung mencari sumber air yang bakal dialiri ke desanya selama enam hari berturut-turut.

"Dulu, sumber air yang kami temukan di Gunung Gentong ini hanya sebesar jari kelingking mengalirnya, sekarang sudah berukuran 1,5 dim pipa, debit airnya 1,5 liter per 7 detik," ujar Kastaman.

Sumber air tersebut kini sudah dipipanisasi menuju ke Desa Ngadas dan Jetak. Pipa air membentang sepanjang 15 kilometer dari sumber air di Gunung Gentong menuju ke dua desa tersebut. "Ada sekitar 500 kepala Keluarga yang kini bisa menikmati air bersih," imbuhnya.

Kepala Desa Jetak, Kecamatan Sukopuro, Probolinggo, Kermat, mengatakan sumber air ini ditemukan pada Juni 2016. Pencarian dilakukan setelah kedua kepala desa mendengarkan keluhan warga akan sulitnya mendapatkan air bersih.

"Keluhan warga tersebut kami tampung, dan bawa ke musyawarah desa, dan diputuskan untuk mencari sumber air yang kami sama sekali tidak tahu di mana tempatnya," jelas Kermat.

Dalam musdes tersebut juga diputuskan, kedua desa akan mengolaborasikan dana desa milik masing-masing untuk mewujudkan pipanisasi air bersih. "Total yang dihabiskan untuk pipanisasi, termasuk biaya tandon dan upah masyarakat yang turut membantu, sebanyak 306 juta rupiah. Sisa dana desa kami gunakan untuk membangun polindes, dan mengembangkan wisata religi," katanya.

Proses pipanisasi melibatkan kurang lebih 250 warga dari kedua desa yang digarap secara padat karya, dengan semangat gotong royong tinggi menyelesaikan pipanisasi selama satu bulan penuh. "Setiap warga yang ikut pipanisasi diberi upah 65 ribu rupiah per orang, setiap harinya," jelas bapak usia 61 tahun ini.

Tidak hanya itu, masyarakat Tengger yang sangat menghormati keberadaan para leluhur pun melakukan sejumlah ritual sebelum memindahkan air dari Gunung Gentong ke rumah warga. "Kami adakan sesajen saat memulai, lalu setiap tahun juga kami buatkan nasi tumpeng dan ritual lainnya untuk menghormati leluhur kami yang menjaga sumber mata air," jelas Kermat. cit/E-3

Baca Juga: