Kinerja perbankan hingga akhir tahun ini berpotensi turun dibandingkan periode sebelumnya lantaran dipengaruhi pelemahan sektor riil akibat terdampak pandemi virus korona tipe baru, Covid-19.

JAKARTA - Kinerja perbankan hingga Februari terpantau masih mencatatkan hasil positif meskipun di tengah penyebaran virus korona tipe baru atau Covid-19 yang bermula dari Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok.

Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), kondisi perbankan nasional secara umum masih dalam kondisi stabil per Februari lalu. Itu ditunjukkan dengan beberapa indikator meliputi tingkat pemodalan mencapai 22,27 persen, sementara kondisi likuiditas relatif cukup dengan Loan Deposit to Ratio (LDR) mencapai 91,76 persen. Bahkan, beberapa bank memiliki LDR lebih rendah terutama di kelompok BUKU I dan II yang berada di level 88-89 persen.

Sementara itu, risiko kredit bermasalah (NPL gross) terpantau stabil di level 2,79 persen dengan Return on Assets (ROA) 2,46 persen. Simpanan juga masih menunjukkan pertumbuhan positif yang terlihat dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) secara tahunan, yakni sebesar 7,77 persen.

Namun, kondisi tersebut diperkirakan tak berlangsung lama mengingat pada Maret lalu, Covid-19 mulai menyebar di Indonesia. Karena itu, hingga akhir tahun ini, kinerja industri perbankan di Tanah Air diperkirakan turun. Hal itu dipengaruhi kebijakan otoritas untuk merestrukturisasi kredit para pelaku usaha yang terdampak pandemi Covid-19.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, melihat net interest margin (NIM) perbankan pada 2020 akan turun cukup signifikan, terutama bagi bank buku 3.

"Sampai Maret so far masih bagus artinya Covid-19 ini baru ramai di Indonesia pada 20 Maret ke atas, tetapi itu belum terlihat dan kemarin bank mengangkat kinerjanya masih bagus," ujar ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, dalam video conference di Jakarta, Jumat (10/4).

Namun, dia memperingatkan akibat pandemi kinerja perbankan berpotensi turun hingga setahun ke dapan, salah satunya disebabkan permintaan sektor riil tertekan. Bahkan, menurut penyataan asosiasi pengusaha, mereka hanya mampu bertahan selama tiga bulan ke depan, mengingat produksi saat ini terkendala kelangkaan bahan baku.

Tentukan Restrukturisasi

Meski demikian, dia menilai bank dapat menimbang debitur yang layak atau tidak layak untuk menerima program restrukturisasi kredit. "Jadi tidak akan otomatis. Karena belum tentu semua orang punya pinjaman boleh melakukan restrukturisasi karena tetap ada syarat, yaitu kena dampak Covid-19," jelasnya.

Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perbankan merestrukturisasi kredit debitur yang usahanya terdampak Covid-19. Kebijakan stimulus perekonomian nasional tersebut tertuang dalam Peraturan OJK No 11/POJK.03/2020 yang mengatur tentang penilaian dan peningkatan kualitas kredit.

Debitur yang berhak mendapatkan restukturisasi merupakan debitur (pelaku UMKM) yang terdampak penyebaran virus korona, baik secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ekonomi pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.

uyo/E-10

Baca Juga: