Pelaku industri bisa menahan diri untuk meningkatkan produksinya jika daya beli masyarakat melemah akibat dampak tingginya inflasi di dalam negeri.

JAKARTA - Aktivitas industri manufaktur di dalam negeri kembali terakselerasi memasuki awal semester kedua tahun ini. Meski demikian, geliat tersebut menghadapi tantangan berat hingga akhir tahun menyusul prospek tingginya inflasi nasional.

Inflasi tinggi akan menggerus tingkat konsumsi masyarakat. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan membuat para pelaku industri manufaktur menahan diri untuk menambah kapasitas produksinya. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan inflasi inti pada 2022 berkisar 4,5-4,6 persen, melampaui target dalam APBN 2022 di rentang 2-4 persen.

Pemerintah mengungkapkan angka Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Juli 2022 berada di level 51,3, lebih baik dibandingkan catatan pada Juni lalu di posisi 50,2. Sebagai catatan, indeks di atas 50 menunjukkan kinerja manufaktur mengalami ekspansi, sebaliknya angka di bawah 50 menunjukkan industri tersebut terkontraksi.

"Tentu pencapaian ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak dalam proses percepatan pemulihan aktivitas ekonomi pascapandemi Covid-19, khususnya dalam mendorong peningkatan permintaan domestik dan mendukung kegiatan dunia usaha," ujar Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangan resmi yang dikutip di Jakarta, Selasa (2/8).

Level ekspansif PMI Indonesia telah tercatat sejak September 2021 atau selama 11 bulan beruntun, bahkan melampaui beberapa negara Asean lainnya, seperti Vietnam (51,2), Filipina (50,8), Malaysia (50,6), dan Myanmar (46,5).

Menko Airlangga menuturkan kinerja impresif pada aktivitas sektor riil tersebut menjadi bukti ketahanan ekonomi domestik di tengah berbagai tantangan global yang terus berlangsung. Bahkan, kinerja ini berhasil dicapai di tengah adanya potensi perlambatan pemulihan global.

Berdasarkan hasil survei, level ekspansi PMI manufaktur Indonesia mengalami laju peningkatan tertinggi sejak April 2022, umumnya karena ditopang permintaan domestik yang semakin solid.

Pada kesempatan lain, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu, menyatakan pemulihan domestik menjadi faktor utama terciptanya kinerja positif manufaktur Indonesia.

Febrio menjelaskan tren positif manufaktur juga diikuti dengan pembukaan lapangan kerja yang mencapai rekor tercepatnya dalam 10 tahun terakhir. Meski demikian, dia menegaskan dampak perlambatan ekonomi dunia perlu diwaspadai karena sejalan dengan proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia dalam World Economic Outlook (WEO) yang direvisi minus 0,9 poin persentase pada 2022.

Risiko Inflasi

Namun, pemerintah perlu mewaspadai potensi inflasi tinggi yang bakal melebihi perkiraan pada akhir tahun ini. Hal itu bisa berdampak terhadap pemulihan ekonomi dalam negeri sehingga bisa berimbas terhadap kinerja industri manufaktur.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, memperingatkan tingginya inflasi bisa menjadi penghambat terbesar pertumbuhan ekonomi karena dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan tingkat konsumsi secara keseluruhan.

Saat ini, tingginya laju inflasi menjadi perhatian khusus di berbagai negara karena berpotensi memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan dan memperketat likuiditas yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: