Oleh Riza Multazam
Luthfy
Kehormatan dan kewibawaan kiai berasal dari diri sendiri. Penghormatan masyarakat lantaran sikap, karakter, perilaku, tata krama, cara hidup, dan kebijaksanaan sehari-hari, sehingga ini melahirkan penghormatan personal.
Berita dan informasi penganiayaan ulama atau kiai merebak. Ini tentu mencemaskan. Ada dugaan kasus penganiayaan tokoh agama merupakan bagian dari strategi politik pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2018 dan pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019. Bila benar, sangat disayangkan karena kiai berperan bagi kehidupan berbangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Orang Jawa melihat ulama itu dihormati. Dia lebih sering disebut kiai. Clifford Geertz dalam Javanese Kijaji menyebut, kiai produk pergulatan nilainilai keagamaan dan praktik kebudayaan lokal.
Dia sosok yang lahir karena identitas institusional (Zuhairi Misrawi, 2010: 34). Pada umumnya, kiai sebutan bagi orang yang mengerti keagamaan. Menurut Zamakhsari Dhofier, kiai sebagai gelar untuk ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. Dia mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santri. Dia dianggap alim, saleh, dan penasihat tanpa mengharap imbalan. Pikirannya diarahkan pada kebaikan. Di sejumlah daerah terdapat beberapa sebutan kiai, misalnya ajengan (Sunda), nun atau bendara (Madura), tengku (Aceh), dan buya di Minangkabau (Darul Aqsha, 2005: 118).
Orang Islam meyakini kiai memiliki karisma dan kepemimpinan keagamaan yang berpengaruh kedaerahan maupun nasional. Misalnya, peran memaknai nasionalisme dalam konteks disintegrasi bangsa, fanatisme kelompok keagamaan, atau masalah-masalah yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kewibawaan kiai terutama ada di masyarakat perdesaan. Dalam buku Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007: 13) disebutkan, Mansur Noor menganggap para kiai merepresentasikan elite keagamaan yang berperan besar dalam membentuk masyarakat religius.
Beberapa studi sosial mengenai pemimpin-pemimpin Islam disimpulkan, kiai berposisi strategis dan sentral dalam masyarakat. Buku Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004: 1) menambahkan, lantaran memegang kepemimpinan informal, kiai diyakini penduduk desa memiliki otoritas besar dan kharismatis. Kehormatan dan kewibawaan kiai berasal dari diri sendiri. Penghormatan masyarakat lantaran sikap, karakter, perilaku, tata krama, cara hidup, dan kebijaksanaan sehari- hari, sehingga ini melahirkan penghormatan personal.
Berbeda dengan penghargaan terhadap kepala desa yang bersumber pada posisinya selaku pemerintah desa. Itulah alasan, sebelum seseorang menduduki kursi kekuasaan desa, tidak memperoleh penghargaan tersebut. Masyarakat tidak mungkin menghormati sedemikian rupa. Keluhuran yang tinggi berasal dari luar, jabatan di pundaknya. Informalitas senantiasa melekat pada kiai. Pemimpin lokal ini selalu terkesan informal, mulai dari cara berpakaian, tindak-tanduk, serta berbicara. Di satu sisi, citra ini menguntungkan lantaran memudahkan dalam berbagai situasi. Dia dapat mengondisikan diri dengan lingkungan, tanpa mengorbankan identitas dan jati diri. Dengan predikat kiai, seseorang leluasa merangkul seluruh kepentingan dan golongan masyarakat. Namun pada sisi lain, sebagian masyarakat menilai, kesan informal identik dengan antiketeraturan.
Kepala Desa
Tidak demikian dengan kepala desa yang terkesan formal. Peraturan negara membuatnya berjarak dengan masyarakat. Rapat yang digelar, materi pidato yang disampaikan, serta seragamnya menambah kesan tersebut. Bahkan, kepala desa dianggap birokratis jika memfungsikan balai desa hanya sebagai kantor pelayanan publik. Dalam beberapa situasi, kepemimpinannya bercorak saklek dan prosedural. Sejak masa kerajaan, era kolonial, hingga Orde Baru, kepala desa merupakan kaki tangan penguasa yang bertugas menyukseskan program- program pemerintah.
Sejak dulu kala, peraturan perundang-undangan tentang desa menetapkan peran strategis kepala desa. Dalam menjalankan kewajiban, kepala desa berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Ia seakan menempatkan diri selaku petugas resmi pemerintah. Dalam upaya memajukan wilayah perdesaan dan menyejahterakan masyarakat, negara memberi dasar yang jelas. Kepala desa mempunyai pijakan normatif dalam implementasi tugas. Sepak terjangnya dalam kehidupan masyarakat disesuaikan dengan peran yang telah digariskan. Legitimasi kekuasan kiai bersifat bottomup dari rakyat.
Pengakuan atas kepemimpinan berdasarkan tradisi musyawarah-mufakat. Kemunculannya berasal dari bawah, sehingga jauh dari kesan kosmpolit. Tidak ada intervensi dan campur tangan pemerintah dalam pengangkatan kiai. Masyarakat memberikan misi kepada seseorang yang. Boleh dibilang, negara enggan memberikan penegasan terhadap keberadaannya, terutama dalam produk legal. Adapun proses pemilihan kepala desa berjalan secara demokratis. Pemilihan langsung yang melibatkan semua lapisan menandai proses tersebut.
Eksistensinya dilindungi pemerintah. Legalitas mendasari setiap kebijakan yang dikeluarkan, selama tidak menyalahi kode etik karena mendapat pengakuan dari Negara. Kekuasaannya terkesan bersifat topdown. Sejumlah peraturan perundang-undangan dibuat demi ketentuan terhadap posisi kepala desa. Peran kiai bersifat tradisional. Fungsinya merupakan warisan pemikiran lama yang masih lestari. Konsensus menentukan tugas kiai bersifat kondisional, ditentukan oleh perubahan zaman. Realitas sosial menjadi pijakan atas misi yang diemban.
Apa yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan nilainilai yang dipegang teguh oleh mereka. Kiai dapat berperan dalam bidang agama, sosial, politik, bahkan medis. Dalam bidang agama, kiai memerankan diri sebagai imam shalat maktubah, muballigh, imam tahlil, dan khatib shalat Jumat atau shalat Ied. Dalam bidang sosial, kiai dipercaya memberi arahan tentang calon pasangan hidup, memberi nama bayi, memimpin ritual slametan dan penyampai maksud hajatan. Dalam bidang politik, dia berpengaruh menentukan calon bupati, calon presiden dan calon legislator. Konsultasi mengenai partai terbaik juga diserahkan kepada kiai. Dalam bidang medis, sebagian kiai dinilai sanggup mengobati pasien dengan pengobatan alternatif.
Penulis Mahasiswa S3 Ilmu Hukum UII