JAKARTA - Dalam penyampaian kerangka pokok Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 ke DPR, pemerintah menyampaikan perlunya berhati-hati dalam menetapkan besaran defisit tahun depan.

Hal itu karena kondisi sektor keuangan global di mana suku bunga tinggi diperkirakan berlangsung lama atau higher for longer sehingga berdampak pada tekanan nilai kurs terutama rupiah. Akibatnya akan mempengaruhi kemampuan bayar.

Penyampaian Menteri Keuangan itu sempat dilihat oleh kalangan tertentu sebagai adanya beban pembayaran utang pemerintah yang berat pada 2025 atau jangan-jangan kewajiban utang yang sesungguhnya lebih besar dari yang dicatat dan disampaikan ke publik.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB. Suhartoko, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Minggu (9/6), berharap pemerintah transparan mengenai jumlah utang yang dimiliki serta komposisi utang dan juga jatuh temponya.

Pemerintah, tegasnya, harus berhati-hati terkait masalah utang ini sehingga harus lebih transparan. "Hal yang perlu diperhatikan adalah utang akan menimbulkan kewajiban pembayaran pokok dan bunga di masa mendatang," kata Suhartoko.

Soal utang, paparnya, nanti terkait dengan kemampuan negara dalam membayar utang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penerimaan dibandingkan pertumbuhan utang.

Terlepas dari itu, utang harus efektif mengungkit pertumbuhan. "Alokasi penggunaan utang yang diprioritaskan ke sektor produktif. Dalam beberapa kasus terjadi penambahan utang bahkan lebih kecil dari pembayaran pokok dan bunganya," paparnya.

Wakil Rektor Tiga Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan apabila benar utang pemerintah jumlahnya jauh lebih banyak dari pernyataan, sangat disayangkan karena seharusnya pemerintah mengedepankan prinsip keterbukaan untuk mewujudkan Good Corporate Governance dan Clean Government.

"Prinsip-prinsip yang menjadi amanah reformasi adalah memegang teguh transparansi, kejujuran, dan akuntabilitas. Jadi sangat disayangkan kalau persoalan besar seperti jumlah utang yang sebenarnya sampai tidak transparan. Bagaimanapun prinsip keterbukaan dan akuntabilitas ini merupakan prinsip dalam pelayanan publik yang memberikan kepastian dan membentuk rasa trust pada publik, tidak boleh terlewatkan.

"Apalagi soal utang, yang tanggung jawabnya tidak sepele dan akan membebani APBN secara berkelanjutan," ujarnya.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan jumlah utang pemerintah yang dinyatakan Menkeu Sri Mulyani saat RDP dengan DPR pada pekan lalu yakni sebesar 8.338 per April 2024 sebenarnya bisa lebih kecil dari utang sebenarnya pemerintah.

Tidak Tercatat

Ada beberapa sebab pengumuman utang pemerintah yang tercatat di lembar negara APBN bisa lebih kecil dari fakta sebenarnya. Misalnya, penggunaan instrumen keuangan kompleks seperti derivatif atau surat utang yang tidak tercatat dalam laporan utang resmi misalnya utang di masa lalu yang hanya dibayar kewajiban bunga sementara nilai utang resminya tidak tercatat sebagai utang.

"Kita memang perlu sungguh-sungguh melihatnya karena catatan keuangan itu kan kompleks selalu. Ada beberapa yang bisa diduga seperti kewajiban bunga utang di masa lalu yang akan terus dibayar sampai 2040, saya tidak bisa menyebutnya, tapi itu harus dilihat lagi di laporan keuangan pemerintah," katanya.

Baca Juga: