Pemerintah sudah selayaknya memberikan subsidi input produksi, maupun mekanisme agar harga di tingkat petani terjamin dan layak.

JAKARTA - Pemerintah diminta segera menuntaskan akar permasalahan kenaikan harga beras, bukan hanya menganjurkan diversifikasi pangan. Permalasahan di hulu belum terselesaikan dari lama.

Semestinya pemerintah membantu kepentingan petani selaku produsen pangan. Saat ini kendati harga beras naik, keuntungan petani tak optimal karena tingginya biaya produksi yang dikeluarkan.

Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan merespons pernyataan Menteri Pertanian soal harga beras yang terus meroket dan malah menganjurkan masyarakat makan sagu sebagai substitusi dari konsumsi beras. Menurut dia, Mentan bertanggung jawab penuh untuk membela kepentingan petani dalam urusan kegiatan pertanian.

"Harusnya ada kebijakan yang membela kepentingan petani agar situasi terus meroketnya harga beras juga berdampak memberi keuntungan kepada petani, namun yang terjadi malah sebaliknya, petani kita tidak menikmati kenaikan harga beras dan hal ini harusnya tugas menteri untuk memperjuangkan nasib petani yang terus terpuruk akibat sistem yang tidak membela petani," cetus Johan di Jakarta akhir pekan lalu.

Wakil rakyat dari dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) 1 ini berharap pemerintah lebih serius mengelola pasar besar di Tanah Air. Menurut Johan, liberalisasi pangan, terutama beras adalah pasar yang sensitif terhadap perubahan termasuk ancaman krisis global. Hal itu menjadi faktor pendorong fluktuasi harga beras.

"Karena itu saya minta pemerintah segera memperkuat koordinasi dan segera menanggalkan ego sektoral untuk menjaga kestabilan harga beras dan tidak sepenuhnya menyerahkan kepada mekanisme pasar," harap Johan.

Legislator Senayan ini meminta Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bekerja lebih kuat terutama menjaga manajemen stok beras dan distribusi beras dari daerah surplus ke daerah minus.

Tak Optimal

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) September 2022 sebesar 106,82 atau naik 0,49 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan tersebut dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) mengalami kenaikan sebesar 1,62 persen lebih tinggi dibandingkan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 1,13 persen.

Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Mujahid Widian menyebutkan tren positif NTP nasional pada September 2022 merupakan dampak membaiknya subsektor tanaman pangan. Peningkatan NTP tanaman pangan sendiri berlangsung sejak Agustus lalu, ditandai dengan meningkatnya harga gabah petani.

Kenaikan harga gabah tentunya akan menaikkan daya beli keluarga petani. Namun inflasi menyebabkan peningkatan daya beli menjadi tidak optimal, sehingga NTP tanaman pangan tetap saja di bawah standar 99,35.

"Laporan anggota SPI dari berbagai wilayah menyebutkan harga gabah di tingkat petani naik, demikian juga dengan harga beras. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari terbatasnya stok gabah karena produksi padi yang minim; hingga musim tanam antar wilayah yang berbeda, juga turut mempengaruhi," ujarnya.

Dia menambahkan, dari data BPS tersebut terlihat bahwa indeks biaya yang dikeluarkan petani naik dibandingkan bulan sebelumnya, seperti konsumsi rumah tangga (0,95 persen) dan biaya produksi dan modal (0,96 persen).

Hal ini dilihat sebagai dampak dari kenaikan harga BBM yang terjadi pada September lalu. Kondisinya juga tercermin di besar inflasi bulan September 2022 sebesar 1,17 persen (dibandingkan bulan sebelumnya), dan terbesar disumbang oleh biaya transportasi.

Dilihat dari data BPS September ini, terjadi kenaikan biaya yang dikeluarkan oleh petani (Ib) di seluruh subsektor NTP.

Baca Juga: