YOGYAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan masalah radikalisme bukanlah persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara. Haedar menjelaskan panjang lebar apa itu radikalisme dan bagaimana yang harus diwaspadai sebenarnya bukanlah radikalisme namun radikalis-ektremis dengan contoh adalah komunisme.
Di Indonesia, dalam kurun 10 tahun terakhir ini begitu gencar membahas wacana dan isu radikalisme. Bahkan radikalisme telah menjadi bagian dari perundang-undangan dan kebijakan negara atau pemerintah.
"Kebijakan tentang radikalisme, selalu menyasar kelompok agama, khususnya kaum muslim. Apakah memang radikalisme itu hanya menyangkut satu kelompok tertentu saja? apakah di tempat lain tidak ada radikalisme? Lalu apa yang dimaksud radikalisme itu?" tanya Haedar dalam acara di TvMu pada Kamis (30/09) dikutip dari rilis PP Muhammadiyah, Jumat (1/10).
Mengkaji radikal dan radikalisme secara objektif-ilmiah merupakan keharusan agar menempatkan "kata" ini di tempat yang semestinya. Haedar kemudian menegaskan bahwa radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme.
Haedar menjelaskan bahwa dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata "radikal" berasal dari akar kata "radix" (Latin) yang berarti "origin" (aseli) atau "root" (akar). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata radikal mengandung arti: 1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) 2) amat keras menuntut perubahan; 3) maju dalam berpikir atau bertindak. Adapun radikalisme sebagai paham atau ideologi menurut Giddens ialah taking things by the roots (mengambil sesuatu dari akarnya).
"Ketika sesuatu bersifat mendasar, tentu tidak ada masalah, apalagi agama, ideologi, maupun ilmu pengetahuan. Agama, pancasila, itu sesuatu yang mendasar. Bahkan jika radikal itu diartikan maju dalam berpikir dan bertindak sebagaimana dalam KBBI, berarti radikal itu positif dalam makna dasarnya," tambah Haedar.
Menurutnya persoalan utamanya tidak terletak pada radikal atau radikalisme itu sendiri, sebab kata tersebut netral sejak lahir, melainkan pada tindakan radikal atau radikalisme yang jika ujung pangkalnya bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya. Karenanya, Ia menegaskan, bahwa radikalisme akan menjadi masalah bila memaksakan perubahan dengan cara-cara yang tidak manusiawi.
"Permasalahannya, radikalisme sebagai sebuah paham bukan lagi semata-mata kembali pada akar tetapi dalam konteks menuntut perubahan menggunakan kekerasan dan segala bentuk kekerasan untuk kembali ke dasar (radix) dan memperjuangkan perubahan," jelasnya.
Selain itu, radikalisme akan menjadi suatu problem bila hanya diidentikan dengan kekerasan kelompok tertentu. Dalam hal ini secara jujur Haedar menyatakan bahwa Islam dan umat Islam seringkali menjadi terdakwa dalam stigma radikalisme. Konstruksi tentang radikalisme yang bias dan digeneralisasi ini begitu menyakitkan sebab mengabaikan radikalisme lainnya yang tidak kalah berbahaya atau bermasalah bagi kepentingan bangsa dan negara.
"Lain halnya bila ketika objeknya dilekatkan dalam semua objek kehidupan. Bahwa radikal adalah kembali ke akar dan menuntut perubahan secara kekerasan, bisa berlaku baik kelompok agama, pada kelompok nasionalis, pluralis, liberal-sekuler, bisa juga pada komunisme," terang Haedar.
Radikalisme juga akan menjadi sebuah masalah bila dimaknai sebagai pandangan dan orientasi ektrem. Ekstremis selalu berusaha menciptakan masyarakat yang homogen berdasarkan prinsip dogmatis yang kaku. Sikap ekstremisme dalam semua bentuknya adalah sesuatu yang berbahaya. Hal tersebut karena para ekstremis cenderung tidak menghargai kemanusiaan siapa saja yang dianggap menghalangi visi ekstremnya.
Menurut Haedar, radikal-ekstrem bisa menyasar semua paham tidak terkecuali agama, ideologi, atau pun aliran pemikiran lainnya. Artinya, semua kelompok maupun gerakan memiliki potensi yang sama mengalami potensi transisi menjadi radikal-ekstrem.
Komunisme, kata Haedar, merupakan contoh dari kelompok radikal-ekstrem. Sebagai lanjutan dari paham gerakan marxisme radikal, komunisme dalam sejarah dunia di mana pun telah menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik, komunalisme dalam berbangsa, dan diktatorial dalam pemerintahan. Bahkan, kata Haedar, komunisme mempraktekkan totaliterisme, yang menghalalkan kekerasan dan segala cara yang menimbulkan pertentangan dan konflik keras dalam masyarakat.
"Komunisme memang sejatinya merupakan ideologi yang radikal-ekstrem yang berpaham pada komunal bahwa berbangsa, bernegara, dan hidup itu harus didasarkan pada paham semua milik semua. Dan memandang bahwa tidak ada kelas tetapi mereka memperjuangkan kelas proletar dan anti terhadap berjouis," tutur Haedar.
Gerakan Komunisme di berbagai dunia termasuk di Indonesia melalui Partai Komumis Indonesia (PKI) terbilang sangat radikal-ekstrem. PKI pada era Henk Sneevliet dan Tan Malaka saat awal kemerdekaan begitu radikal melawan kolonialisme Belanda. Pasca kemerdekaan pun PKI telah melakukan pemberontakan yang radikal berkali-kali.
Puncaknya, PKI melakukan kudeta kekuasaan melalui tragedi G30S/PKI tahun 1965 yang berakhir dengan kegagalan. Peristiwa bersejarah ini mengakhiri pemerintahan Soekarno dan lahirnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dengan segala kontroversinya.
"Bahkan komunisme itu menganut totaliterisme, segala macam hal diabsolutkan bahkan kekuasaan negara menjadi sangat absolut dengan hanya satu partai yaitu partai komunis sendiri. Partai komunis di Indonesia, yaitu PKI, berkali-kali melakukan pemberontakan, itu faktual, menyejarah dan banyak buktinya. Itu tragedi bukan ilusi. Pada dasarnya komunisme dan PKI itu menganut paham radikal-ektrem yang totaliter," tutup Haedar.