Menurut dia, MPR RI periode 2019-2024 telah sepakat tidak akan melakukan amendemen konstitusi. Jika terjadi amendemen, terbatas hanya untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Walaupun tidak ada rencana menghadirkan amendemen, tidak ada salahnya jika mengevaluasi terhadap perjalanan konstitusi untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan negara dan pencapaian tujuan bernegara. Sekaligus memaknai kembali amendemen konstitusi yang telah dilakukan MPR sejak 1999 hingga 2002," kata Bamsoet dalam Temu Pakar Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI di Gedung DPR/MPR/DPD RI di Jakarta, Rabu (30/11).
Bamsoet mengungkapkan bahwa reformasi menjadi tonggak sejarah yang menandai runtuhnya sebuah "tabu politik" dengan mengamendemen UUD NRI Tahun 1945.
Menurut dia, setelah hampir seperempat abad sejak UUD NRI Tahun 1945 diamendemen untuk pertama kalinya pada tahun 1999, tidak ada salahnya jika saat ini dikaji kembali.
"Apakah reformasi konstitusi yang dilaksanakan, telah menjawab berbagai tuntutan yang melatarbelakangi dilakukannya amendemen konstitusi, khususnya dalam memajukan demokrasi di Indonesia," ujarnya.
Secara kuantitatif, lanjut dia, sejauh mana implementasi konstitusi berdampak pada kehidupan berbangsa, tercermin dari data-data yang menggambarkan capaian beberapa variabel pada masing-masing dimensi.
Bamsoet lantas mencontohkan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat, khususnya dalam hal kesempatan untuk mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, layanan kesehatan, dan pendidikan, dapat merujuk pada nilai indeks pembangunan manusia (IPM).
"Untuk mengukur kemajuan kehidupan demokrasi di Indonesia, dapat merujuk pada besaran indeks demokrasi. Sebagai gambaran, rata-rata IPM Indonesia pada tahun 2022 mencapai angka 72,91 atau masuk kategori tinggi di atas 70," ujarnya.
Diungkapkan pula bahwa indeks demokrasi Indonesia alami pasang surut secara dinamis. Misalnya, laporan The Economist Intelligence Unit yang dipublikasikan pada bulan Februari 2022, yaitu pada tahun 2021 berada di urutan ke-52 dari 167 negara dengan nilai 6,71 pada skala 0 sampai 10.
Idealnya, menurut Bamsoet, konstitusi yang dibangun dan diperjuangkan adalah konstitusi yang hidup (living constitution) dan yang konstitusi yang bekerja (working constitution).
"Konstitusi yang hidup adalah yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Konstitusi yang 'bekerja' adalah yang benar-benar dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan memberi kemanfaatan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," katanya.
Ketua MPR iniberpendapat bahwa konstitusi terikat dengan realitas zaman. Maka, agar "hidup" dan "bekerja", konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan.
Bamsoet menilai perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan sehingga tugas bersama adalah memastikan bahwa perubahan tersebut merupakan perubahan menuju ke arah yang lebih baik.
Perubahan itu, kata dia, dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, menjunjung tinggi kehendak daulat rakyat, serta memastikan kelestarian nilai-nilai luhur yang menjadioriginal intentparafounding fathersdalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain, Ketua Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Jimly Asshiddiqie, Sekretaris Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Abdul Kholik, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 Hamdan Zoelva, pimpinan PAH I MPR 2001-2004 Jakob Tobing, dan Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sofian Effendi.
Ketua MPR: Tidak Salah Evaluasi Hasil Perjalanan Konstitusi Negara
30 November 2022, 20:43 WIB
Waktu Baca 3 menit
Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menilai tidak ada salahnya jika masyarakat mengevaluasi perjalanan konstitusi untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan negara dan pencapaian tujuan bernegara.