JAKARTA - Kebijakan pembangunan pemerintah dinilai kurang jelas dan tidak terarah. Hal itu terlihat dari fungsi intermediasi perbankan dalam menyalurkan pembiayaan masih belum optimal. Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan kredit bank yang disalurkan tidak ke sektor produktif seperti ke Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di bidang pangan, tetapi malah jor-joran ke sektor properti hingga mencapai 1.500 triliun rupiah.
Padahal, properti sudah menjadi ajang spekulasi yang menyebabkan terjadinya penggelembungan ekonomi. Hal itulah yang menciptakan jurang ketimpangan karena penyaluran kredit bukan merembes ke sektor ekonomi yang berkaitan langsung dengan rakyat. Pembiayaan impor pangan pun begitu besar, sedangkan ke sektor yang berkaitan dengan pembangunan rakyat kecil sangat kecil. Begitu juga pembiayaan ke batu bara dan ekplorasi migas yang nilainya sangat besar, tetapi tidak untuk mengupayakan pembangunan sumber energi baru terbarukan (EBT).
"Bagaimana bisa pemerintah disebut melaksanakan pembangunan guna pemerataan ekonomi kalau daerah terpencil tidak mungkin bisa masuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Di pulau mau masuk ke mana, mustahil mengirim minyak diesel ke ribuan pulau. Kan harus EBT, supaya bisa mandiri, harus ada beterai yang namanya of grid atau di luar jaringan tegangan tinggi," kata Siprianus. Bank dalam menjalankan fungsi intermediasi kan mengacu pada garis kebijakan negara.
"Bagaimana kalau pembiayaan ke properti seperti itu, tapi untuk yang merembes ke rakyat tidak ada," katanya. Belum lagi kebijakan baru-baru ini yang bagi-bagi tambang ke ormas agama. Mereka karena tidak memiliki modal dan keahlian, pada akhirnya akan menjadi calo dan jualan izin. "PBNU misalnya dikasih tambang. Bagaimana caranya? Kenapa bukan pertanian, ngawur total. Walau sudah dibagi tambang, tapi tidak merata ke rakyat. Berapa rakyat yang dapat dan sampai tidak ke rakyat. "Kan lebih baik diserahkan ke BUMN, supaya royalti dibayar ke APBN," katanya.
Ciptakan Paradoks
Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, dalam kesempatan terpisah mengatakan ketidakjelasan kebijakan itu menciptakan paradoks. Pemerintah menyatakan ingin mendorong kemandirian pangan dan transisi energi bersih, namun komitmen itu tidak nampak pada kebijakan alokasi anggaran dan dukungan kebijakan justru memperlihatkan hal yang sebaliknya.
"Guna mewujudkan komitmen transisi energi dan ketahanan pangan, sejatinya tidak bisa dicapai melalui slogan atau kebijakan di atas kertas, melainkan harus diwujudkan dengan tindakan nyata, seperti pengalokasian anggaran yang lebih proporsional untuk sektor pangan dan EBT," tegas Badiul.
Pemerintah perlu melakukan menggeser kebijakan dari sekadar retorika menuju aksi nyata yang dapat mengubah arah pembangunan menuju kesejahteraan yang berkelanjutan. Masih tingginya pembiayaan untuk batu bara sangat bertentangan dengan komitmen pemerintah melakukan transisi energi dan mencapai target bauran energi terbarukan. "Jika pemerintah serius melakukan pemerataan dan mendukung transisi energi maka harus ada perubahan signifikan pada alokasi pembiayaan, baik untuk sektor pangan maupun EBT," tegas Badiul.