Batu bara sangat rentan karena menjadi komoditas yang makin terbatas, apalagi sudah semakin dibatasi karena polutif.

JAKARTA - Krisis pasokan batu bara untuk pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN saat ini menjadi pertanda bagi pemerintah memacu penerapan energi baru dan terbarukan (EBT). Hingga tahun lalu, bauran energi sektor EBT baru 11,2 persen, jauh dari target 23 persen pada 2025.

Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan krisis batu bara ini juga menjadi bukti adanya kesalahan tata kelola sumber daya alam (SDA). "Krisis ini menjadi pengingat bahwa energi fosil sangat rentan sehingga perlu segera masuk ke energi baru terbarukan. Dengan semakin terbatasnya energi fosil ini, pasti akan fluktuatif dalam supply and demand. Kalau tidak imbang, pasti akan terjadi disparitas harga, ada distorsi," ujarnya di Jakarta, Kamis (6/1).

Sugeng mengakui batu bara masih menjadi salah satu sumber energi utama dan penyumbang terbesar pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Meski demikian, dia mewanti-wanti adanya risiko semakin terbatasnya ketersediaan di masa mendatang. Terlebih lagi, sambung dia, saat ini Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Paris dan meratifikasi dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

"Batu bara sangat rentan karena menjadi komoditas yang semakin terbatas, apalagi sudah semakin dibatasi karena polutif. Kita juga sudah meratifikasi Perjanjian Paris. Hal ini menjadi dasar bahwa EBT sebuah keharusan dilakukan mitigasi," terang Anggota Fraksi Partai Nasdem DPR RI itu.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, menyebut momen larangan ekspor batu bara harusnya menjadi pemicu dalam melakukan diversifikasi energi dari fosil ke energi lainnya, terutama EBT. Dengan demikian, ke depannya tidak ada lagi kebergantungan terhadap energi fosil.

"Momentum ini harus menjadi katalisator untuk melakukan diversifikasi sumber energi dari fosil ke energi terbarukan dan energi transisi (gas), agar tidak ada ketergantungan kepada energi fosil, sehingga cita-cita kemandirian energi nasional bisa terealisasi," imbuh legislator dapil Jawa Barat III tersebut.

Emisi Rendah

Anggota Komisi VII yang sekaligus sebagai Anggota Badan Anggaran DPR RI, Ratna Juwita Sari, menegaskan sikap Fraksi PKB mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan transisi energi fosil menuju EBT. Menurutnya, transisi energi ini merupakan bentuk komitmen untuk mempercepat terwujudnya net zero emission pada 2060.

"Indonesia sudah berjanji di forum-forum internasional, khususnya COP-26 lalu, untuk mewujudkan net zero emission pada 2060. Jadi, pemerintah harus segera mempercepat realisasi transisi energi fosil menuju EBT sejak saat ini. Jangan ditunda lagi," tutup legislator dapil Jawa Timur IX tersebut.

Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bidang Perencanaan Strategis, Yudo Dwinanda Priaadi, menegaskan melalui Forum G20 ini, Indonesia berkesempatan mendorong upaya kolektif dunia dalam mewujudkan kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi global secara inklusif. Indonesia pun memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia, dukungan penuh terhadap transisi energi global.

"Negara-negara anggota G20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi global. Maka dari itu, negara-negara G20 memegang tanggung jawab besar dan peran strategis dalam mendorong pemanfaatan energi bersih," pungkasnya.

Baca Juga: