Penyandang disabilitas telah mendapatkan kesetaraan sejak ada undang-undang untuk disabilitas, yaitu UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.

Krisis percaya diri masih kerap menghantui para penyandang disabilitas. Kondisi tubuh yang berbeda menjadikan para penyandang tidak sepenuhnya memiliki kepercayaan diri tampil di masyarakat.

Komunitas Cahaya Disabilitas membantu menumbuhkan rasa percaya diri para disabilitas dengan berbagai ketrampilan.

Yeti Septiani, Ketua Cahaya Disabilitas merasakan perubahan para penyandang yang berhasil menguasai keterampilan bermakeup. "Dia merasa yakin dan rasa percaya dirinya tumbuh saat bertemu dengan orang," ujar Yeti yang ditemui dalam ajang Y.O.U Tingkatkan Rasa Percaya Diri Wanita Difabel Melalui Makeup, di Jakarta.

Rasa percaya diri merupakan modal awal untuk berkegiatan di ruang publik. Rasa percaya diri yang telah terbentuk memudahkan para penyandang untuk bergaul dan berkontribusi di masyarakat.

Mereka tidak lagi fokus hanya pada keterbatasan melainkan ketrampilan diri yang dimilikinya.

Karunia keterbatasan yang dialami para penyandang menjadi tantangan untuk bergaul maupun beraktifitas di ruang publik. Acapkali, mereka tidak diperlakukan setara sepertihalnya masyarakat pada umumnya.

Di sisi lain, lingkungan terdekatnya alias keluarga sering merasa malu, sehingga para penyandang "disembunyikan" di dalam rumah. Kondisi tersebutlah yang dapat mematikan rasa percaya diri para penyandang disabilitas.

Saat ini, Yeti berpandangan bahwa para penyandang telah mendapatkan kesetaraan sejak ada undang-undang untuk disabilitas, yaitu UU No 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dalam undang-undang tersebut disebutkan para penyandang berhak bekerja dan mendapatkan imbalan atas kerja kerasnya.

Adanya undang-undang tersebut juga makin memotivasi Komunitas Cahaya Disabilitas untuk terjun ke ranah publik. Mereka menyadari bahwa ketrampilan merupakan bekal untuk beraktifitas di masyarakat. Upaya untuk menambah ketrampilanpun semakin menggebu.

Kelas makeup merupakan program awal Komunitas Cahaya Disabilitas. Kelas makeup merupakan permintaan anggota perempuan untuk tampil lebih prima di depan masyarakat.

Untuk mewujudkan keinginan para anggota, Yeti menghubungi organisasi yang mengakomodir perusahaan yang mengakomodis CSR kelas makeup. Dia beranggapan kegiatan CSR akan memiliki visi untuk membantu pada sesama.

Program kedepannya, komunitas akan memiliki program-program ketrampilan, seperti memasak, handicraf maupun komputer.

Komunitas yang berassal dari berbagai kalangan masyarakat beranggapan ketrampilan dapat menjadi bekal untuk terjun ke dunia kerja. "Saya ingin teman-teman lebih mandiri," ujar wanita yang mengajar sebagai guru les ini.

Karena, beberapa anggota belum memiliki pekerjaan, ketrampilan dianggap dapat menjadi bekal untuk membuka lapangan pekerjaan, minimal dengan berwirausaha.

Di sisi lain, masyarakat yang semakin terbuka diharapkan tidak lagi memandang sebelahmana para penyandang.

Komunitas yang terdiri dari penyandang keterbatasan fisik sengaja ingin membentuk komunitas sebagai wadah berbagi ilmu dan berbagi informasi.

Yeti yang mengeyam pendidikan tinggi ditunjuk sebagai ketua. "Walaupun, saya tidak menemukan hubungannya (antara sarjana dan menjadi ketua komunitas," ujar dia sambil tersenyum.

Namun, ia pun menyambut baik keinginan temantemannya meskipun belum dapat memetakan program yang akan dibuatnya.

Program belajar makeup merupakan program pertama komunitas. Walaupun anggota komunitas terdiri para penyandang laki-laki dan perempuan namun program ini hanya diperuntukkan anggota perempuan.

Sedang untuk anggota laki-laki direncanakan akan diberikan program pelatihan komputer atau IT. Dengan rasa percaya diri, para penyandang disabilitas pun tak lagi terpuruk dalam kesunyian. din/E-6

Tantangan Kemandirian Para Difabel

Hidup dengan tubuh keterbatasan bukan berarti menggantungkan diri pada orang lain. Para penyandang disabilitaspun ingin hidup mandiri walupun terkadang terkendala dengan infrasrtuktur yang belum memadai sepenuhnya.

Imelda Diena, 52, mengatakan belum semua fasilitas umum sesuai untuk penyandang disabilitas, seperti dirinya yang menggunakan kursi roda.

"Beberapa transportasi umum masih menggunakan tangga biasa (anak tangga). Kita yang menggunakan kursi roda nggak bisa," ujar dia.

Belum semua transportasi umum mengakomodasi para penyandang disabilitas (kursi roda, tongkat maupun tuna netra) menyebabkan mereka masih tergantung dengan orang sekitar.

Wanita yang gerak tubuhnya terbatas karena polio yang di derita sejak usia dua tahun dan infeksi kelenjar getah bening pada 2015 lalu itu, merasa kerepotan untuk melakukan mobilitas seorang diri. "Nggak semua sarana transportasi umum, bisa kita lewati," ujar dia.

Namun berbedahalnya dengan pusat perbelanjaan, tempat tersebut tergolong "ramah" terhadap disabilitas karena memberikan fasilitas yang menunjang. Infrastruktur gedung telah mendukung para difabel untuk melakukan mobilitas tanpa bantuan orang lain.

Imelda yang terkadang masih menggunakan tongkat untuk sejumlah aktifitas yang tidak terlalu rumit lebih senang mandiri ketimbang mengandalkan bantuan dari orang lain. "Ya, memang tidak bisa 100 persen mandiri, minimal tidak bisa melakukan aktifias sendiri," ujar dia.

Yeti berpendapat serupa bahwa sarana transportasi umum belum sepenuhnya mendukung para penyandang disabilitas.

"Sarana menuju transpotasi umum belum sepenuhnya mendukung," ujar dia. Alhasil, dia masih mengandalkan bantuan orang lain termasuk orangorang yang ditemui di perjalanan saat akan menggunakan transportasi umum. din/E-6

Senang Belajar Merias Wajah

Usai makeup professional memberikan arahan, para peserta kelas makeup (merias wajah) yang terdiri dari para penyandang disabilitas lantas mengikuti langkah-langkah seperti yang disampaikan. Ada rasa kagok lantaran tidak terbiasa menggunakan alat makeup yang komplit.

Cara makeup yang belum luwes tersebut tidak mengurangi semangat para peserta. Makeup sepertihalnya keterampilan lain, ada proses latihan mahir untuk mendapatkan makeup wajah yang maksimal.

Hasniah, 39, penyandang tunawicara mengaku mulai belajar makeup melalui you tube. "Saya belajar melalui you tube, awalnya saya tidak mengetahui tentang makeup," ujar dia yang diterjemahkan melalui interpreternya tersebut.

Perempuan itu mulai belajar makeup sejak kelas 2 SMA mengawali belajar makeup dari teknik dasar, yaitu mengaplikasikan lipstik, mascara, dan alis. Bagi dia, membuat alis merupakan teknik makeup yang paling sulit.

"Karena, alis harus menyesuaikan dengan bentuk muka," ujar yang tidak ingat waktu yang dibutuhkan untuk belajar alis. Yang dia ingat hanya proses belajarnya lebih lama dibandingkan dengan bagian wajah yang lain.

Sejak 2016, Hasniah telah menjadi makeup profesional. Beberapa teman telah meminta bantuannya untuk memakeup wajah.

Sampai saat ini, Hasniah yang tidak pernah mengikuti kursus makeup tidak pernah kenal lelah memperdalam keterampilan makeupnya. Bagi dia, makeup adalah untuk mempercantik diri, diperlihatkan pada suami dan mempercantik orang lain.

Berbeda dengan Imelda Diena, 52, dia menggunakan makeup sekadar membuat wajahnya terlihat segar. Untuk sehari-hari, wanita yang menggunakan kursi roda ini sekedar memoleskan lipstik dan mascara. "Kalau makeup lengkap malah nggak PD (percaya diri)," ujar dia.

Imelda mengatakan makeup hanya untuk menunjang penampilan saja. Untuk bermakeup, Imelda bisanya membutuhkan waktu kurang lebih selama 30 menit. Kalau sadang terburu-buru, Imelda memilih menggunakan makeup dari rumah ketimbang diperjalan meskipun dalam waktu yang lebih pendek.

Bagi wanita yang saat ini bekerja sebagai partimer di bidang perpajakan, makeup berarti untuk menambah penampilan supaya hati lebih senang dan wajah terlihat lebih segar.

Di sisi lain, ia menyakini bahwa kecantikan wajah tidak hanya dari makeup melainkan dari pancaran hati. din/E-6

Baca Juga: