Saling ancam yang mengarah kepada perang terbuka antara Amerika Serikat (AS) dan Korea Utara (Korut) kian mengkhawatirkan. Situasinya menjadi genting karena informasi dari Korut sangat tertutup sehingga bisa saja sewaktu-waktu menyerang AS. Ketegangan mereka tidak lepas dari sikap Pyongyang yang mengabaikan sanksi Perhimpunan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait uji coba peluru kendali (rudal).

Pyongyang bahkan dengan bangga memamerkan uji coba rudal balistik antarbenua yang mampu menjangkau sebagian besar daratan AS. Tak ingin Korut pongah, AS kemudian menginisiasi anggota Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sanksi baru kepada Pyongyang. Hasilnya, embargo ekonomi yang memangkas kegiatan ekspor Korut hingga 1 miliar dollar AS atau sekitar 13,3 triliun rupiah. Sanksi terbaru itu akan membuat Korut semakin terisolasi dalam kancah global.

Paket sanksi terhadap Korut merupakan resolusi yang dirancang AS dan pertama dijatuhkan terhadap Pyongyang era pemerintahan Presiden Donald Trump. Tak cuma itu, untuk pertama kalinya, Tiongkok ikut menyetujui resolusi yang memberatkan sekutu terdekatnya itu. Dalam resolusi sanksi tersebut, PBB melarang seluruh ekspor batu bara, besi, bijih besi, timah, dan bijih timah, serta ikan, dan seafood dari Korut.

Selain itu, PBB melarang Korut menambah jumlah pekerja untuk dikirimkan ke luar negeri, yang menjadi salah satu devisa terbesar rezim Kim. Sanksi juga mencegah perusahaan Korut bekerja sama dengan firma asing. Mereka melarang investasi baru untuk kolaborasi yang sudah berjalan dan menambahkan sembilan pejabat Korut serta empat entitas, termasuk bank valuta asing Korut dalam daftar hitam PBB.

Korut tampaknya tidak terima dengan cara AS itu. Pyongyang kemudian mengeluarkan ancaman untuk menyerang pangkalan militer AS di Guam, Pasifik. Tak tanggung- tanggung, Korut akan menyerang wilayah teritorial AS itu pada pertengan Agustus ini dengan menembakkan empat rudal. Korut juga menggambarkan roket Hwasong-12 yang akan diluncurkan Tentara Rakyat Korea (KPA) bakal melintasi langit Shimane, Hiroshima dan Perfektur Koichi di Jepang.

Roket tersebut akan terbang sejauh 3.356,7 kilometer pada 1,065 detik dan menyentuh perairan sejauh 30 hingga 40 kilometer dari Guam. Namun, ancaman Korut itu baru terjadi jika Pemimpin Korut, Kim Jong Un sudah memberikan lampu hijau. Tak mau kalah, AS pun dengan tegas akan melawan ancaman Korut.

AS bahkan menilai Korut sebagai lawan yang tak sebanding sehingga akan dengan mudah bertekuk lutut. Warga Guam yang menjadi sasaran Korut pun tak takut, karena ada sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang dipasang militer AS di pulau itu. Sistem rudal THAAD bisa meluncurkan 16 roket pertahanan penangkis setiap rudal yang datang.

Tak ada yang mendukung perseteruan AS-Korut. Sebab, pengalaman perang sebelumnya menunjukkan betapa besarnya dampak ekonomi. Korea Selatan (Korsel) yang akan menjadi korban pertama dari perang AS-Korut. Padahal, pada Perang Dunia Kedua, sebanyak 1,2 juta warga Korsel tewas dan pertumbuhan ekonomi anjlok 80 persen.

Semenanjung Korea yang kemungkinan besar menjadi pusat konflik akan menanggung beban goncangan ekonomi. Perekonomian Korsel kemungkinan akan terdampak paling besar. Kondisi ini tak dapat dihindari bakal merambat pula ke global. Sebab Korsel menyumbang 2 persen dari pertumbuhan ekonomi global. Rantai pasok pun secara global diprediksi terdampak.

Jika produksi di Korsel hancur karena perang, ada kelangkaan di seluruh dunia. Jika itu terjadi, tekanan terhadap stabilitas geopolitik Asia bertambah. Akhirnya perekonomian dunia goyah. Indonesia yang masih sangat bergantung pada perekonomian dunia, mau tak mau bakal terseret. Salah satu yang mesti diwaspadai adalah nilai tukar. Untuk itu, rupiah mesti dijaga agar tetap stabil.

Baca Juga: